Tuesday, February 26, 2008

Amanat

Sebagai abahnya aku sangat mengerti kondisi batinnya. Aku sangat tahu Nila itu seperti apa. Si kecil di pangkuanku yang kini harus kembali ke pangkuan. Dibelai dan ditunjukkan bagaimana cara mengusap ingus. Ia harus segera menikah. Meski bisa dipastikan ia tak akan mau jika aku hanya sekedar menawari. Harus ada sedikit paksaan agar ia benar-benar mau. Menikah baginya tentu teramat berat. Apalagi ia kadung menyerahkan ruhnya pada almaghfurlah kyai Abas. Padahal sebenarnya ia belum tahu sepenuhnya siapa kyai agung Abas itu.
------------
Aku benar-benar tak akan menikah lagi. Ini keputusan final. Pada setiap kesempatan aku bertemu sanak kenalan, santri-santri senior, alumnus, bahkan para kyai sepuh. Aku selalu menyatakan tidak untuk menikah lagi. Bagaimana mau menikah, almaghfurlah hampir setiap hari masih menemani dalam mimpi-mimpiku. Menjadi pembimbing bagi ruhku. Belum lagi bagaimana aku harus menjelaskan pada Nashir, putra pewaris tahta. Meski beban yang harus ku tanggung begitu berat. Walau dukungan Abah untuk menikah lagi setiap saat aku pulang selalu meningkat bahkan hampir pada tahap mendesak. Keputusan final adalah: tidak.
------------
Ibu masih terus menghubungiku. Dan aku tak biasa memberikan apa-apa kecuali sekedar selalu berpesan agar ibu sering-sering ziarah ke makam bapak. Aku tahu siapa kakek. Terkadang, bahkan sering, ia tiba-tiba membuat keputusan yang tak masuk di akal. Dan kadang, bahkan sering pula, hikmahnya baru datang belakangan. Setelah terjadi gejolak, barulah badai laut pun jadi setenang danau. Tapi untuk mendukung atau menolak perjodohan itu, aku sebagai anaknya tak bisa apa-apa. Meski ketika kukedepankan emosi, aku tetap tegas menyatakan: tak rela.
----------------
“Boyong! Pokoknya kalo sampai Ibu Nyai Nila nikah lagi aku akan boyong.”
“Sama Kang Tohir. Aku juga,”
“Aku tak kuasa melihat orang lain di samping Bu Nyai Nila kecuali Kyai Abas. Aku tak rela,”
“Sama Kang Tohir, aku juga tak rela. Apalagi calonnya lebih muda dari kita. Masak manggilnya Dek Kyai,”
“Sebagai santri senior, yang sudah kepincut dengan Kyai Abas, aku tak mungkin pindah ke lain hati. Sekali Kyai Abas, tetap beliaulah guruku, bukan yang laen,”
“Sama, Kang Toh…”
“Sama, sama… ndak kreatif kamu, Jo, Tejo…!”
“Sama, Kang,”
“Husss…”
---------------
Aku bisa merasakan gejolak dalam diri para santriku. Apalagi yang sudah senior-senior seperti Tohir, Sugi, Tejo dan lainnya . Aku tahu bahwa kyai, guru, dan bahkan bapak mereka adalah Mas Abas. Dan sebenarnya aku pun begitu. Belum lagi janjiku pada mereka bahwa aku benar-benar tak punya keinginan untuk tazawwuj lagi. Pada saat-saat tertentu kadang aku berpesan agar mereka mengingatkan aku jika suatu saat aku teledor dan memutuskan menikah lagi. Tapi untuk keputusan ini aku tak main-main. Ini memang bener-benar keinginanku. Kemauanku untuk bersuami lagi.
--------------------
Kalo tidak dipaksa demikian, Nila tak mungkin mau. Tangan besi bukan berarti membunuh. Tapi ketegasan yang lebih baik. Sebenarnya aku tak begitu tega ketika mengacuhkannya seperti beberapa bulan kemarin. Aku telah membuatnya asing di rumahnya sendiri. Setiap pulang ke sini ia selalu kubiarkan teronggok seperti angin. Hampa dan tiada. Sepertinya ia tambah menderita saja. Namun merusak urusan kecil demi menyelamatkan yang lebih besar adalah jalan yang lebih tepat. Dari pada terus menerus aku selalu mendapati dirinya berkesah tentang keadaannya yang ringkih sepeninggal Abas. Ngasuh pesantren dengan ratusan santri yang tidaklah mudah. Apalagi sendiri tanpa kekasih yang bisa diajak berkesah. Siapapun akan segera rapuh. Dan bagi seorang perempuan di dunia laki-laki ini, fitnah tentu akan mudah dihembuskan. Apalagi ia tinggal di rumah itu sendiri tanpa putra. Nashir, putra satu-satunya, masih harus di kudus merampungkan qurannya. Ia tentu akan baik-baik saja di sana. Aku akan menanganinya.
----------------------
Aku tak bisa apa-apa. Toh aku bukan benar-benar darah dagingnya. Meski seharusnya akulah yang akan menjadi pengasuh setelah rampung quranku di kudus ini, aku tetap tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan kalau boleh jujur, sebenarnya aku rela-rela saja jika kepengasuhanku diambil alih. Menjadi kyai tak semudah menjadi pejabat. Jika laknat Tuhan sendiri yang turun tangan lewat bencana dengan menjadikan umatnya semakin bejat. Dan aku bukan apa-apa dibanding Almarhum Bapak, kyai alim alamah Abas Abdullah. Beliau terlalu arif, bijak, dan cerdas luar biasa. Kiranya aku tak pantas menggantikan posisi beliau. Apalagi aku telah punya Tiara.
---------------------
“Lalu wasiat itu bagaimana, Kang Tohir?”
“Kita harus mengiringnya. Aku termasuk salah satu yang jadi saksi waktu itu, dan salah satu bunyi wasiat itu adalah bahwa Gus Nashir lah yang bakal meneruskan tampuk kepengasuhan pesantren ini. Bukan orang laen,”
“Tapi kapan Gus Nashir pulang dari Kudus,”
“Ya kalo beliau sudah siap, Jo,”
“Kapan siapnya, Kang?”
“Ya tanya sendiri sama Gus Nashir,”
“Piye tho?”
Diam.
“Yang menjadi kekawatiranku dan banyak para alumnus, paska perkawinan ini, mau dibawa ke mana pesantren ini. Otomatis suami Bu Nyai, kan ya jadi kyai juga. Jadi pengasuh. Apalagi nanti kalo dari perkawinan ini melahirkan putra. Tambah ruwet lagi tho. Pokoknya kita harus mengiring wasiat Almaghfurlah,”
***
Aku hanya punya satu modal. Sami’na wa atho’na pada Kyai Lukman. Bagiku hidup dan mati ini sudah ku pasrahkan pada nasab guru agungku, Kyai Lukman. Semenjak lulus SD aku telah tahu bahwa Kyai Lukman-lah yang patut jadi panutan dunia akhirat. Ia benar-benar pewaris nabi. Ulama’ yang arifnya tak tertandingi. Dan aku turut pada titahnya. Meski aku tak pernah tahu siapa Nyai Nila. Meski aku juga belum tahu seagung apa Kyai Abas Abdullah semasa hidupnya. Yang aku tahu aku menurut pada kerso Kyaiku, Saykh Lukman. Bahkan kutinggalkan tunanganku, Dek Isti, demi ta’dzimku pada kyai. Itu saja modalku: keta’dziman. Oh Dek Isti, maafkan Mas Saiful-mu ini. Semoga ini yang lebih baik.
------------
Apa sih yang mereka takutkan? Masalah wasiat? Kalo masalah itu aku pun tak pernah main-main. Wasiat adalah amanat. Dan amanat yang tak ditepati akan jadi api yang membakar di neraka nanti. Ustadz Saiful itu bukan siapa-siapa. Ia bukan darah biru, putih, atau apapun. Ia bukan berasal dari keturunan kyai manapun. Ia benar-benar orang biasa. Beda dengan Kyai Darul, Pak Muzayyin, Ustadz Damanhuri, atau calon-calon lain yang ditawarkan abah. Dan aku memilihnya karena hal itu. Karena keta’dzimannya pada gurunya Kyai Lukman, pada agama. Pada umat yang taat seperti dialah aku patut taat.
------------
Sekali lagi aku tak bisa memberi apa-apa. Bahkan sekedar saran. Apalah aku ini. Nashir malang yang tidak punya sesiapa sanak saudara lalu tiba-tiba menerima anugrah cinta dan kasih sayang ibu bapak yang mengasuhku selayak jantung hati hingga derajatku naik. Kurang bersyukur apa aku jika tak tahu terima kasih dengan menolak rencana pernikahan ibu. Kemarin aku terus terusan mengulur waktu pernikahanku dengan Ning Sa’adah. Putra Kyai Rijal Abdullah, adik Bapak. Perjodohan yang akan mengembalikan tampuk kepengasuhan pesantren pada bani Abdullah. Aku tahu, ibu dan juga kakek tentu sudah tahu kenapa aku tak segera merampungkan quranku. Aku memang mengulur waktu perjodohan itu. Karena aku punya Tiara. Dia bukan apa-apa. Tapi aku kadung mencinta. Oh, ibu, kakek, masalah itu belum selesai kini kenapa engkau tambah membuatku semakin keruh?
***
Aku akan segera menikah. Sebagai anak yang berbakti, apalagi yang menjadi kepuasan lahir batin jika bukan membuat hati orang tua menjadi bahagia? Aku tak kuasa mendengar abah berkata-kata yang membuat semakin lara. Aku ambruk dan semakin teruk jika membiarkan diri sendiri termakan janji yang sebenarnya tak pernah diwajibkan agama. Mewajibkan suatu yang tak wajib adalah dosa. Tapi sebelumnya, aku harus bertanya untuk yang terakhir kali pada Nashir. Relakah ia pada pernikahan ini.
----------------
Dan pada akhirnya aku mengangguk. Hari itu tangis ibu begitu suntuk dan aku tak mengharap hal yang sama terulang untuk yang lebih dahsyat. Aku menyatakan iya untuk pertanyaan yang lebih mirip sebuah hibaan itu. Kali ini aku ingin membuatmu tersenyum, Bu. Setelah banyak kali aku menjadi mendung bagi hari-harimu.
----------------
“Pernikahan jadi dilangsungkan. Dan kini aku tak begitu kawatir lagi, Jo. Semua akan baik-baik saja,”
“Kok bisa, Kang Tohir?”
“Karena setelah pernikahan Gus Nashir dengan Ning Sa’adah, beliaulah yang kemudian akan menjadi pengasuh. Almaghfurlah tak akan kecewa melihatku. Salah satu saksi penanda tanganan wasiat. Pesantren akan tetap diasuh oleh Bani Abdullah,”
“Lha terus Ustadz Saiful?”
“Beliau dan Bu Nyai akan mengasuh pondok putri. Dan pengasuh utama tetap Gus Nashir. Beres tho, Jo?”
“Beres, Kang Tohir!”
***
Setelah pernikahan Gus Nashir dan Ning Sa’adah, pesantren Al-Rahmah kembali mengalir tenang. Gejolak telah habis bersama hikmah yang dapat diambil setiap insan yang bergelut dengan praduga. Emosi yang mengedepan memang membunuh akal sehat. Dan sebulan kemudian, giliran Bu Nyai menikah dengan Ustadz Saiful. Pada hari itu tak satupun merasa berat menyaksikan mereka bersanding. Karena seolah-olah mereka melihat pesona Kyai Abas menguar dari aura Ustadz Saiful. Mereka takjub.
***
Pernikahan berlangsung tanpa gejolak. Tepat seperti pertanda dalam mimpi itu. Sehabis mendung, ada cahaya terang memancar dari balik gunung. Allah, engkaulah Sang Agung. Istikhorohku sungguh kau jawab dengan anggun. Aku bisa membendung segala tangis dan kesah Nila, putri kesayanganku. Dan aku juga bisa mengembalikan Nashir pada jalannya menuntut ilmu dan takdir pengabdiannya pada agama. Untuk selanjutnya, biarkan aku memeluk-Mu dengan khusuk. Biarkan aku istirah dari bising dunia yang penuh emosi dan semakin tak menghiraukan hati nurani dan akal sehat ini gusti. Ijinkan aku mencium kaki-Mu. Lalu izinkan aku menemui Kyai Abas. Ia sepertinya memanggilku. Kulihat tangannya telah merentang untuk memelukku. Dan aku akan segera berbisik padanya bahwa amanat yang belum sempat ia wasiatkan dulu, kini telah aku lakukan. Nila telah menikah lagi. Ashadualla ilaha illallah wa ashadu anna muhammadar-rosulullah….
Kotagede, 15/01 – 03/02/07
bukan cerita tv
; jhony AF

seperti terlempar ke masa lalu
saat rumputan masih hijau
di bawah rumah panggung yang rimbun
reriuh seribu masalah di atasnya
yang belum tercium

dan ketika air kali membuat becek jalanan
menuju surau
dan cerita hantu menjelang petang
membuat enggan beranjak dari pembaringan
tak hendak diri mengaji meski belum ada tv
yang begitu memenjara mata dan hati

mulutmu memahat arca candi
relief hidup yang tak terlupa
ada mawar ada carun yang kesemua-mua
sangat santun mengalir hanyutkan diri di kali belajar
dari mulutmu kawan dari hati

jangan henti memahat, kawan
jangan henti
sebelum aku kembali ke penjara, kawan
ke dalam kotak tv

25 nov 2007
ke roma

ke roma,
siapa yang enggan menyimpan kenangan
taman-taman dan aroma bangunan tua
seribu cerita berjejal ingin menunjukkan kilaunya

aku tertegun ngungun
ada satu yang terlewat dari wajahmu
belum sempat terpigura
dalam anganku

suatu saat, tak hanya ucap tumbuh dalam kelopak
rindu
kita akan ke sana mengulang cerita
tentang orang-orang kalah pada sejarah
dan terpaku sekedar jadi penunggu
yang nostalgis dan sendu

kotagede, 23 februari 2008
di samping nisanmu
: syaikh ahmad marzuqi

di samping nisanmu harum kamboja
ada seribu semilir makna serentak
merasuk jiwa
dari gerisik daun jati ditikam rintik hujan
ada seribu tanya tiba-tiba merapat satu-satu
tentang dirimu wangi menegakkan mati
berkali-kali
menorehkan tanda di kening jamaah dan hati
di gunung-gunung di sisi tak dikenali negeri ini
pada setiap jiwa yang putih jejakmu terangkum
pada jalan lurus indah namamu menggaung
meski mati berkali-kali jiwa berbunga-bunga

itukah magnet doa-doa bagi ruhmu
yang kini di alam tak kasat mata?
adakah diri kan bermakna
saat lagi tak mengenal kata
sentuhan jari dan tatap mata?

diri hidup berkali-kali dalam kematian
nanti saat raga tak lagi hadir
adakah bunga tumbuh di atas nisan?
mengingat hidup tak melakukan apa-apa
selain berakrab dengan kekosongan

giriloyo, 24 februari 2008

Tuesday, February 12, 2008

sajak


lembar rubrik sastra


eksotis!
baru sekedar menatap hati langsung terpikat
pada lembar rubrik sajak minggu yang dahsyat
jiwa munajat memaknai judul demi judul
yang padat pekat menguarkan aroma bersahabat
pada si miskin, papa dan segala hal yang hidup serba pincang
lena mulai hangat melilit membaca telaah bait demi bait
sajak penuh hasrat bercermin padanya hingga tamat
mendapati diri tambah meratap nasib tak kunjung membaik
sajak-sajak itu mengurung dalam rasa syahdu
membelenggu diri dalam secangkir kopi
lalu memaksa menuruti bola salju
menulis getir dan kepedihan yang tak terjangkau kebijakan
di depan kertas dan pena diri terpaku
mampat dan ragu
akankah hidup berubah setelah menulis gelisah
sebab raga tak ke mana-mana meski pesan di mana-mana
inikah jalan para penulis sajak
menepi di pinggir sunyi dan mati bersama kekosongan
hidup penyair di alam rasa
cara paling luhung mengusik dunia
bermula dari rasa jiwa suka atau tak suka lalu raga menyatu
membawa cangkul dan sabit mmengolah sawah kehidupan
menjadi lebih baik atau lebih buruk
aduhai rubrik sajak,
sungguh hati terusik tuk tak sekedar duduk
di singgasana sepi para penyair sunyi
tapi tuk segera bertindak melakukan perubahan
menjadi lebih baik


12 Feb 2008

sajak


dunia sebatas nikmat


aku hanya akan menulis yang indah-indah saja
tak satu pun yang boleh beraroma airmata
seluruhnya nyanyian dan tarian pesta suka
tentang kebahagiaan tentang kemenangan
tentang senyum dan tawa yang tak lekang
hingga tiada lagi sengsara tak ada lagi derita
tak dijumpa lapar tak dimengerti tangis
hidup menghalalkan mimpi mengapa harus
memilih mimpi buruk?
susunlah pencapaian nikmat tertinggi
yang dapat dibayangkan lalu perlahan
kita bawa ke mana kita suka
tak perlu perjalanan pulang
tutup seluruh pintu menuju rumah
benar-benar hidup dalam dunia sebatas nikmat
sekali lagi tak perlu pulang
tak usah kembali ke kenyataan
terbanglah bersama balon-balon mimpi
meski kita selalu tahu tak pernah
sampai pada perwujudan

13-14 des 2007

sajak-sajak


kisah raksasa seribu wajah


yang selalu berhasil membangunkan
raksasa seribu wajah adalah sinta
cukup dengan menguarkan aroma
perempuan berwajah tanpa noda
lalu mengutuki diri sendiri
o, inilah lelakon panjalma
dajjal laknat mengangkangi
seribu maksiat
siap menerkam jiwa yang menghunuskan
gelisah di ujung keyakinannya
inilah kisah negeri perempuan
yang dibeberkan sejarah laki-laki
dan memang dikhusukan diri sendiri
perempuan sirnalah ditelan api
di telan bumi
lelaki, biarlah mati tertikam
persangkaanya sendiri
di ujung bidikan panah terakhir
yang menembus tengkuk para raksasa
; dan mereka
mati ketawa


21 des 2007

sajak-sajak

dunia yang murung

dunia ini penuh kemurungan
meski pula diguyur kesuraman
tidakkah gerah dibungkus sedih
selama berabad-abad dihimpit luka
ayolah kawan terbang ke kebahagiaan
katakan pada diri dan semua orang
bahwa kamu bahagia
bahwa kemarin sore kamu sudah mengubur
kesedihan di belakang rumah
lihatlah sayapmu mengembang
ia akan membawamu ke pelangi
berharap dan doalah
lalu alam akan membukakan
tangganya menuju langit
sebab dunia adalah energi
engkau energi
seluruh bergabung dalam kepadatan
berpijak dan sampai
pada bijak

sajak-sajak

renungan malam

seorang anak perempuan smp kelas awal ikut ospek
di malam terakhir ada renungan
ia menangis paling awal ketika anak-anak yang lain ketawa ketiwi
mendengar sang pengantar mengalunkan bait-bait pidato sok puitis
ia menangis bukan karena menyesal telah mensia-siakan waktu
dengan tak bersyukur dan tak berterimakasih pada orang tua pun sanak saudara
tapi karena belum dapat kesempatan menghunuskan maut ke jantung bapaknya
ia ingin balas dendam tapi tak ada jalan ada jalan
maut lebih dulu merenggut nyawa bapaknya
di akhir renungan ia tertawa paling keras ketika anak-anak yang lain masih sesenggukan menahan isak penyesalan
ia tertawa karena berhasil menemukan cara balas dendam
yaitu:
menggali kubur bapaknya
dan menusukkan belati tepat pada kemaluannya.
yang dulu sempat mencabik keperawanan sekaligus
kemanusiaannya.


28 desember 2007

Saturday, February 9, 2008

Pilem

Dalam dunia pesantren, santri dan televisi seolah tidak bisa disatukan. Sejak jaman TVRI masih menguasai pasar pertelevisian, hingga sekarang yang marak tumbuh berkembang stasiun TV swasta, di sebagian besar pesantren yang masih memegangi tradisi salaf (tradisional) tidak pernah menjadikan televisi sebagai media yang pantas untuk diakrabi. Malah sebaliknya, ia –TV- seolah-olah sebuah kotak penjelmaan dari setan dan hawa nafsu yang harus dipantangi oleh para santri.
Hal ini bisa dimaklumi, karena tradisi yang dibangun pesantren adalah tradisi membaca (Quran, kitab kuning, dzikir, mujahadah), bukan tradisi melihat. Apalagi tidak bisa dipungkiri, program-program acara yang ditawarkan stasiun TV sebagian besar adalah program hiburan yang dalam kacamata pesantren, dianggap sebagai laghwun (kesia-siaan). Dan laghwun berarti dosa.
Nah, yang menjadi menarik kemudian adalah bagaimana tanggapan dunia pesantren jika program acara TV tersebut disuguhi dengan tema dunia pesantren sebagai citra yang religius dalam bentuk yang lebih khusus lagi yaitu film ataupun sinetron yang notabene dianggap laghwun tersebut?
Menurut Dedy Mizwar, (produser, sutradara, aktor, dan pemilik produktion house), pada bincang-bincang bareng redaktur LkiS di kantor redaksi, menghadirkan pesantren ke dalam bentuk audiovisual (terutama film/sinetron) dapat menjadi alternatif tontonan sekaligus tuntunan islam yang lebih membumi. Ia bisa menyegarkan susana di antara maraknya tontonan islami yang mengedepankan kekejaman dan penyikasaan atas nama agama (Azab dan siksa Tuhan). Ia menambahkan seandainya tontonan semacam itu dibiarkan mewabah, maka tidak menutup kemungkinan orang-orang akan lari daroi islam. “seandainya saya bukan orang islam mungkin saya akan berkomentar, wah, betapa kejam Tuhan umat islam!”
Hal senada diungkapkan pula oleh sutradara muda peraih piala citra 2006 untuk film Brownies, Hanung Bramantyo. Bahkan ia menambahkan bahwa pesantren masih dan akan selalu menawarkan nilai artistik tersendiri dan lain dari pada yang lain. “tapi memang, ini bener-bener proyek idealisme” komentarnya kemudian tanpa harus pesimistis. Karena memang dunia perfileman saat ini masih dikuasai kapitalisme akut.
Dengan tanggapan dan komentar positif dari para praktisi film tersebut, lalu bagaimana dunia pesantren menanggapainya?
“Bagus, saya mendukung, asal dunia pesantren ditunjukkan secara tepat,” begitu komentar Lora Faizi L. Kaelan, seorang Gus sekaligus seorang sastrawan dari pesantren Guluk-guluk Madura menanggapi. Menurutnya, dunia pesantren boleh dan bisa dieksprolasi oleh siapa saja tanpa kecuali asalkan dia benar-benar tahu tentang dunia yang unik dan komplek ini.
Para santri pun mengamini pendapat Gus itu. “bagus sekali, memanfaatkan TV sebagai media dakwah pesantren,” kata Fatkan Anis, santri PP nurul ummah kotagede asal porworejo yang sudah sejak kelas 4 SD mulai nyantri di 3 tempat ini berkomentar bahwa TV tidak bisa mengkover 100% kekayaan dunia pesantren, terutama aspek batiniyahnya. “kalo mau tahu sepenuhnya, ya harus masuk pesantren dulu!” lanjutnya promosi. (red: Setujuuuu!)
Melihat kondisi yang demikian kaya, selanjutnya yang menjadi permasalahan tentu saja siapakah yang harus turun tangan?
Sebagaimana kelaziman sebuah kultur dan komunitas, tentu menyimpan sisi negatif di samping sisi positif. Tentu saja hal ini kadang menjadi keresahan tersendiri bagi pesantren jika sisi negatifnya terlalu diekspos berlebih sementara nilai positif yang mendominasi malah dikesampingkan.
“wah, itu tak perlu ditakutkan, kang. Malah hal itu bisa menjadi otokritik bagi dunia pesantren untuk lebih maju lagi menuju kebaikan. Tapi yang perlu diingat, ya semuanya harus ditampilkan dengan proporsional tentunya,” kang anis yang punya cita-cita kuliah di UNY ini mengakhiri perbincangan.
Secara terpisah, Hj. Nyai Barokah, Pengasuh PP. Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta menyatakan bahwa Film-film di TV sekarang sering menampilkan kehidupan kaum perkotaan, dengan ekonimi kelas menengah ke atas. Hal tersebut kurang relevan dengan keadaan mayoritas penduduk di indonesia sehingga menimbulkan gaya hidup kurang pas. Masyarakat terpengaruh film dan bergaya hidup mewah. Menghalalkan segala cara untuk mencapainya.
Beliau juga menyatakan bahwa dalam membuat film pesantren biar para pekerja film yang membuatnya. Yang penting mereka harus tahu benar tentang kehidupan pesantren tidak mengada-ada dan bermisi positif atau dakwah.
Semoga film pesantren ke depan dapat diposisikan dalam keadaan yang proporsional bukan eksploitasi hiburan semata dan dapat menjadi media apik dalam memberikan tontonan yang menuntun arah bangsa ini lewat kebudayaan. Amien.

sajakku

Engkau Yang Lari

Engkau lari dari dirimu
Meraih burung patah sayap
Menyangkarkan dalam tatapku
Lalu kau tengadah langit
Berharap senja lekas pagi
Sayang aku masih rembulanmu
Hujan telah berkabar
datangnya di pagi buta
di kala hujan
sia-sia kau nanti matahari
kembalilah pada dirimu
aku masih rembulanmu
KG, 05 mei 2007

Friday, February 8, 2008

sajakku

Kisah tentang sahabatmu
; perempuan bermata coklat

engkau telah banyak berkisah tentang burung
yang hinggap pada segala daun
yang bersangkar pada setiap ingin

begitu fasih kau hafal setiap lembut bulunya
menghias jadi pelindung
meruapkan hikmah
dari jiwanya yang ketuban pecah
menguar harum keningnya
sisa sujud dan tawadhu’ yang khusu’
tiap sepertiga malam dan dhuha yang suntuk

“ia bersangkar pada kehendak
Tak beranjak hanya untuk reruntuhan
Yang berserak
; Debu di atas debu”

“Dirinya batu, dirinya mutiara
Dirinya hangat
Pada malamku yang tak ada selimut,”
Katamu berkisah tentang si burung
Yang memaksa bintang dan matahari berkunjung
Sekedar untuk menghibur
Di kala hatinya mendung

“diriku racun,” engkau berkesah
Sedang liurnya kau hirup sebagai penawar resah
Yang mengucur jauh dalam muara singgasana
Kemegahan cerita demi ceritamu
Tentang si burung lucu
Yang menyimpan wahyu

“suatu saat biar kau kuhampirkan
Pada sangkarnya yang tak pernah memenjara”
Katamu pada malam kesekian
Setelah lelah
Penantianku tak mengenal temu
Berharap kisahmu tentang perjumpaan kita saja yang sederhana
Dan memendam rindu

“hanya satu duri yang membuatnya percaya
Bahwa air mata memang seharusnya tumpah
Saat perihnya menikam gundah
Durinya, lelakinya”
Matamu menghujat, bibirmu merapat
Kau hunuskan seluruh keparat
untuk lelaki yang menikamkan duri pada sahabat
si burung yang terperangkap rasa, cinta, sekaligus laknat

sekali lagi aku menghela nafas
rasanya benar-benar takkan ada cerita
tentang tatap kita serupa pena
yang pernah bertemu kertas sejarah
dan mulai menuliskan kisah
bukan tentang burung
tapi tentang rahim kebisuan yang pernah kita tanami
ruh majnun

Ah, sayang kau tak pernah tahu.
Ketika itu, ruh laela kuarung di bening danau matamu

“mas, lihatlah ke angkasa, burung itu menukik kemari
Rentangkan tanganmu
Biar ia meredam tikam di hangat cintamu
Engkaulah lelaki yang sempurna
Tuk menyeka air matanya”

Aku menatap angkasa
Tapi langit serupa danau
Tak kulihat burung atau apapun
Selain ruh laela dalam bening mata

Sayang, kau tak pernah ingin aku berkisah
Tentang danau di coklat matamu
di mana aku ingin melarungkan hati
Menemu laela-ku lagi
Yang jujur yang tak menikamkan kebohongan
Pada diri sendiri

Kotagede, 03 Mei 2007

guru vs orang tua

Orang tua siswa SMPN 20 Solo melayangkan protes kepada sekolah. Pasalnya, rambut anaknya dipotong oleh guru secara tidak beraturan. Rambut anak tersebut dipethak-pethak karena dinilai terlalu panjang (Sindo; 02/02/08).

Kejadian serupa sangat mungkin terjadi di sekolah lain. Anak adalah investasi orang tua. Ketika investasinya diganggu, maka investor akan berang dan bisa dipastikan membela investasinya. Lalu bagaimana menyikapi kondisi tak nyaman dalam dunia pendidikan antara sekolah dan orang tua semacam ini di mana seharusnya keduanya bisa berjalan beriringan dalam pergumulan masyarakat pendidikan?
***
Sekolah sebagai tempat belajar sudah tidak dipersoalkan lagi keberadaannya, akan tetapi keberadaan sekolah bukanlah merupakan satu-satunya sentral pendidikan. Dalam dunia pendidikan terdapat tiga sentral pendidikan, yaitu: keluarga, sekolah dan masyarakat (A.D. Marimba: 1984). Ketiga sentral ini harus berjalan koordinatif dan sinergis demi mewujudkan tujuan pendidikan yaitu mewujudkan manusia pembelajar yang seutuhnya baik dalam hal intelektualitas, emosionalitas, dan spiritualitas.
Pola hubungan koordinatif antara ketiga sentral pendidikan tersebut dapat diwujudkan melalui lembaga komite sekolah/majlis madrasah yang beranggotakan perwakilan guru, siswa, orang tua dan tokoh masyarakat terkait. Keanggotaan tersebut sebenarnya sudah ideal secara teori. Kerjasama yang apik dalam proses pendidikan yang mencakup kepentingan keseluruhan anggota di segala aspek pendidikan, akan mampu menghasilkan kualitas pendidikan yang mumpuni. Namun pada prakteknya lembaga tersebut baru sebatas membahas masalah mikro semisal masalah yang berkaitan dengan pendanaan sekolah dan kepentingan yang bersifat eksidental (penentuan beasiswa, dll) seperti halnya kasus BP3 pada jaman doeloe. Hal-hal yang berkait dengan pelaksanaan pendidikan yang lebih urgen (kelancaran KBM, pembinaan siswa berprestasi, dll) dan yang lebih makro kadang terbengkelai dan terabai. Akibatnya rasa saling curiga di antara ketiga pilar tersebut (orang tua, sekolah, masyarakat) menjadi hal yang sangat mungkin menggejala. Hal ini diperparah dengan kemandegan hasil pembahasan hanya ditingkat lembaga komite sekolah/majlis madrasah saja, tanpa sosialisasi secara merata dan komprehensif kepada pihak-pihak yang terkait.
Lalu, apabila menilik dari kasus yang terjadi di Solo tersebut, yang salah yang mana? Orang tua atau guru (sekolah)? Keduanya tidak bisa disalahkan. Karena yang menjadi pokok permasalahan bukanlah personal, tapi ketimpangan komunikasi antara sekolah dan orang tua atas proses pendidikan peserta didik. Di satu pihak guru (sekolah) menginginkan proses pendidikan yang terbaik di sekolah (dengan menegakkan peraturan semisal mencukur siswa gondrong) di pihak lain orang tua menginginkan kondisi terbaik bagi anaknya yang sudah disekolahkan (mendapatkan hasil yang baik, termasuk rambut yang rapi).
Untuk itu diperlukan langkah bijak dan strategis dengan menjalin pola komunikasi yang baik, berimbang dan bertanggung jawab antar anggota pendidikan (orang tua, sekolah, masyarakat, dan peserta didik), agar konflik yang tidak perlu seperti kasus di atas tidak terjadi dan pendidikan berjalan lebih baik.

Thursday, February 7, 2008

dongeng

Kenapa Bercerita (Mendongeng)?

“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik
dengan mewahyukan al-quran ini kepadamu…”
(Yusuf 12:3)


Muqadimah.
Jika Allah saja berkisah pada makhluknya, kenapa saya tidak? Masih ingat, apa saja cerita pengantar tidur yang sampai kepada anda saat masih kecil dulu? Jawabannya beragam, tapi bisa diambil rata-rata orang akan menjawab: masih ingat!
Selama itukah cerita mampu bertahan? Yap, ia akan bertahan ribuan tahun…
Kenapa musti bercerita?
Jawabnya karena manusia lebih mudah menerima kesan dari pada pesan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebagian dari kita (termasuk anak-anak) cenderung untuk ogah dikhotbahi dengan segunung nasehat. Melalui cerita, manusia diajarkan mencari hikmah tanpa merasa digurui. Bercerita ibarat kita curhat. Ada sebuah proses transfer emosi dari hati ke hati. Suasana seperti inilah yang akan membangun komunikasi berjalan sangat intim. Jika kita dekat, akrab dan saling berbagi, lalu apalagi yang mesti dikawatirkan?
Dengan bercerita, ada beberapa unsur luar biasa yang bisa kita dapatkan dalam pembangunan karakter dan kepribadian pendengar, antara lain:
sarana kontak batin antara pencerita dan pendengar, melatih imajinasi, mempertajam emosi, sarana pengetahuan bahasa, membantu proses identifikasi diri/perbuatan, media penyampai pesan/nilai-nilai tertentu, sebagai sarana hiburan dan pencegahan kejenuhan

Pada akhirnya,
Bercerita adalah salah satu metode pembelajaran yang efektif. Ia bekerja di wilayah rasa. Belajar dengan hikmah akan membawa petualangan lain bagi pembelajar untuk menempuh alam kesadarannya masing-masing tanpa diganggu oleh yang namanya keterpaksaan. Wa akhirnya; “Maka, ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al-A’rof 176)
Tanya : Lalu kenapa bercerita?
Jawab : Karena ada yang mau diceritai. Kalo tidak, tentu tidak usah bercerita.
Tanya : Tapi kenapa tetap bercerita meski tak ada yang meminta?
Jawab : Karena Tuhan maha mendengar semua cerita…

Kesatria Asu

Sore yang hujan. Tiba-tiba ada sms nongol di HP Motorola C168 silver saya.
"secangkir kopi dan beberapa iris daging kurban menunggumu, mereka mengajak kita memeluk Tuhan,"
"Ok!" balas saya singkat.
Hujan belum reda, tapi saya tetap akan menemuinya, Pakar Kesatria Asu. Saya sudah berjanji padanya lewat sms. Pantang bagi saya melanggar janji. Tapi kadang kalo lupa saya terpaksa tak bisa memenuhi. Namanya juga lupa. Lupa itu tak bisa dihukumi. Lupa itu mabok. Mabok itu rufi'al qolam.
Kembali ke Pakar Kesatria Asu sudah menunggu. Di sebelah tempat ia tinggal ada sebuah kolam yang merenggut salah satu fitnah dunianya; perempuan pertama dari darahnya. Dan semakin menjadilah kepakarannya.
Siapa sebenarnya Kesatria Asu?
Itu hanya istilah yang saya paksakan untuk dirinya. Disamping pakar Kesatria Asu, menurut saya ia termasuk juga dalam barisan Kesatria Asu itu. Hanya karena ia pernah bilang bahwa ia akan sama saja sebelum dan sesudah dibilang "Anjing, Kamu!". Karena baginya ada tingkat kita memaknai hidup berketuhanan. Dan kesatria Asu itu di tingkatan paling awal ataw paling rendah; yaitu ketika manusia melihat makhluk sebagai ayat, pertanda ke'adaan', implementasi dari sifat-sifat ketuhanan. Ketika melihat cewek cantik, ada di sebaliknya sifat Jamaliah Tuhan. Ketika melihat batu yang keras, ada di sebaliknya sifat jabbar-Nya.dan lain sebagainya.
"Jadi," kata dia, "Jikapun saya dikatakan anjing saya tidak akan marah, sebab di sebalik saya dan anjing itu ada Tuhan. Hahaha…," tawanya mulai menelusup di antara seribu suara binatang malam perswahan.
Di sebuah kelokan, seekor anjing menggonggong sambil komentar, "Manusia! Tak mau aku disamakan denganmu, yang hanya bisa menyulam kerusakan demi kerusakan, menjahit kehancuran demi kehancuran, mengukir kemungkaran demi kemungkaran, mengakibat bencana demi bencana. Akulah pentasbih abadi. Jika engkau ingin jadi kesatri Asu, bunuhlah kemanusiaanmu dan pakailah ke-asu-an diriku,"
Rupanya Sang Anjing Protes.
Kemanusiaan seseorang adalah 'kesalahan dan lupa'.
Keasuan anjing adalah ketidakbaikan anjing selaku binatang.
Meleburkan keduanya akan mencipta karakter makhluk yang sempurna.
Dan sesempurna-sempurna makhluk, kata Tarji,
"Takkan sampai sebatas Allah,"
Subhanallah…

Monday, February 4, 2008

Pak Harto; Mantan atau Masih Presiden?

Indonesia sedang berkabung. Seorang tokohnya telah berpulang. Haji Muhammad Soeharto meninggal dunia pada hari Ahad, 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan setelah dirawat intensif selama 24 hari oleh dokter kepresidenan yang berjumlah 40 orang.
Ada yang berduka, ada yang menghela nafas lega. Terlepas dari rasa suka atau tidak suka, dia adalah bekas orang nomor satu yang berkuasa selama 32 tahun di negeri ini yang jasanya bagi bangsa patut untuk dihargai. Sedangkan kesalahan-kesalahannya sudah seharusnyalah dipertanggungjawabkan.
Tulisan ini tidak akan membahas kontroversi klaim benar salah atas diri Jenderal Besar Purnawirawan ini, melainkan ada satu hal yang tak kalah menariknya untuk dibahas, yaitu tentang penggunaan kata ‘mantan’ sebelum kata ‘presiden’ yang melekat pada nama HM Soeharto.
Seseorang yang selesai bertugas menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut pensiunan. Orang yang pernah ditahan sebagai pesakitan di LP disebut bekas tahanan atau eks napi. Purna tugas anggota ABRI disebut purnawirawan. Demikian seterusnya. Lalu, bagaimana dengan kasus Pak Harto yang bekas Presiden? Kata apa yang pantas melekatinya?
***
Beberapa media massa lokal maupun nasional membentangkan istilah ‘Mantan Presiden RI’ atau ‘Presiden RI ke-2’ tanpa ‘mantan’ bagi Pak Harto. Kedua istilah yang digunakan tersebut tidak mengandung kesalahan. Pada frase pertama kata ‘Mantan’ menduduki posisi menerangkan untuk frase ‘Presiden RI’ yang berada dalam posisi diterangkan. Frase ini mengikuti bentuk menerangkan-diterangkan (MD). Penggunaan kata ‘mantan’ pada frase ini sudah tepat secara makna sebab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘mantan’ bermakna bekas, tidak lagi menjadi-, hal ini sesuai dengan kedudukan HM Soeharto yang sudah tidak menjabat presiden RI pada saat istilah itu digunakan.
Frase kedua, ‘Presiden RI’ menduduki posisi diterangkan dan ‘ke-2’ menduduki posisi menerangkan. Frase ‘Presiden RI ke-2’ mengikuti pola diterangkan-menerangkan (DM). Apabila frase ini diletakkan sebelum kata HM Soeharto, maka menjadi frase yang bermakna HM Soeharto adalah Presiden RI yang ke-2. Kalimat ini tidak salah, karena bagaimanapun HM Soeharto tetap Presiden RI yang ke-2. Dia tidak akan pernah menjadi presiden RI yang ke-3 atau yang ke- seterusnya. Seperti halnya Bung Karno, ia tetap akan menjadi presiden RI yang pertama.
Pertanyaan muncul, yang salah yang mana? Yang salah adalah apabila kata ‘mantan’ diletakkan pada frase ‘Presiden RI yang ke-2’ sehingga menjadi ‘mantan Presiden RI yang ke-2’. Pembuktiannya adalah, jika HM Soeharto adalah mantan presiden RI yang ke-2, maka harus ada penggantinya yaitu presiden RI yang ke-2 setelah HM Soeharto. Kenyataannya tidak demikian. Tidak ada presiden RI yang ke-2 selain Soeharto. Presiden RI yang ke-2 tetaplah Soeharto dan hanya dialah satu-satunya Presiden RI yang ke-2 di negara Republik Indonesia ini. Jadi salut buat Pak Harto yang meski telah tiada, ia tetap langgeng menjadi Presiden RI yang ke-2.
Frase yang lebih salah adalah ketika kata 'mantan' dihilangkan dari frase 'mantan presiden RI' sebab kenyataannya Soeharto sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI ketika frase itu. Yang menjadi presiden RI sekarang adalah DR. H. Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Jadi salut buat SBY berani mengganti HM Soeharto serta presiden-presiden yang lain menjadi orang nomor wahid di negeri 'sulit' ini. Tak sia-sia ia jadi presiden, kalo diperhatikan pada pidatonya di pemakaman Pak Harto, anda akan mendengar frase 'Jendral Besar Purnawirawan dan Presiden RI ke-2 HM Soeharto'. Frase ini juga digunakan oleh protokol upacara. Namun sayang, ketika acara doa yang dipimpin oleh Kepala Kanwil Depag Jawa Tengah, tiba-tiba rasa khusuk yang sempat saya rasakan berkurang gara-gara mendengar beliau membaca frase yang salah yaitu 'mantan presiden RI yang ke-2'. Ah sayang, jika saja tulisan doa yang dibacanya itu diedit dulu maka akan lebih baik jadinya. Mungkin Menteri Agama perlu menginstruksikan kepada stafnya agar mengadakan kursus bahasa Indonesia bagi para Kepala Kanwil dan seluruh jajarannya. Atau mungkin saya yang harus berhenti memperhatikan bahasa?
Pak Harto pernah menjadi presiden RI, sehingga dapat disebut mantan presiden RI. Kini ia telah berhenti jadi manusia hidup dan selanjutnya berprofesi sebagai manusia tidak hidup sehingga layak disebut ‘almarhum’ alias ‘mantan manusia hidup’. Seperti halnya Pak Harto, kita semua pun akan mengalami hal yang sama, menjadi ‘almarhum’ atau ‘almarhumah’ jadi mari kita mempersiapkan diri agar terhindar dari sindroma pasca hidup (siksa kubur yang pedih). Semoga Pak Harto ditempatkan di tempat yang paling tepat di sisi Tuhan. Amien.

Ingsun

mbantul, jogjakarta, Indonesia