Sunday, November 23, 2008

BERMUSIK UNTUK BERBAHAGIA

Musik adalah keindahan. Penikmatnya menyadari hal itu dan mengambil kesenangan darinya sebagai sebuah hiburan. Bukankah manusia hidup untuk mencapai kebahagiaan?
Musik, apapun bentuknya, adalah harmonisasi bunyi. Sedang bunyi sendiri timbul berasal lebih dari seribu macam sumber. Ada sumber dari alam dan ada sumber dari buatan manusia. Ketika berbagai sumber bunyi menghasilkan bunyi, maka terciptalah nada dan ketika dilakukan bersama-sama, akan membuat komposisi nada yang –entah enak, ataupun tidak- menjadi sebuah pagelaran musik. Seiring perjalanan perkembangan nalar fikir manusia, proses kreatif pun berkembang. Inovasi produk sumber bunyi menghasilkan beragam alat musik modern seperti gitar, drum, biola, dan lain sebagainya. Beriringan dengan itu muncul pula berbagai macam jenis musik yang beragam sebagai hasil inovasi, evolusi, dan bahkan revolusi komposisi bunyi dari berbagai alat musik tersebut. Kemudian musik bukan semata-mata menjadi pemuas hasrat bermusik individual, melainkan komunal dan bahkan merambah ke bukan lagi wilayah rasa, tapi industri.
Lalu idealitas semacam apa yang menjadikan musik diyakini mampu mengusung ideologi tertentu?
Pertanyaan terakhir dapat terjawab dengan menjawab pertanyaan pertama; manusia membutuhkan kebahagiaan.

Tuesday, November 11, 2008

LMCR 2008; terlambat...

Kemarin aku ngirim sebuah cerpen remaja untuk LMCR Rohto 2008. dan dalam pengumuman pemenang nama dan judul cerpenku berada di pojok paling bawah. bukan sebagai pemenang, tetapi peserta favorit. apapun itu aku menghargai keputusan dewan juri. terlabih lagi aku menghargai hasil karyaku sendiri. anda boleh menjadi juri sekarang...


SURAT YANG DATANG TERLAMBAT

Sudah selesai, Den,” mbok Minten meletakkan pulpen dan kertas di sisi meja. Ia telah selesai menuliskan kata-kata pemuda yang tergeletak lemas di atas tempat tidur di sampingnya.

Kemarikan, Mbok!” pinta pemuda itu dengan lirih. Ia menggenggam beberapa lembar surat itu dengan erat. Dari sudut matanya meleleh air mata. Ia tak bisa membendung kesedihan itu. Baginya penderitaannya sudah tuntas. Kini ia hanya bisa tergeletak lemas tak berdaya di atas tempat tidur.

Saya permisi dulu, Den, mau mencuci pakaian,” kata mbok Minah ikut lirih. Matanya ikut berkaca-kaca pula. Namun ia segera berpaling tak ingin kesedihannya tertangkap mata pemuda itu.

Ya, terima kasih, Mbok,” jawab pemuda itu.

Surat itu datang terlambat. Jangankan datang, dituliskannya pun sudah terlalu telat. Perlahan ia buka kembali lembar pertama dan mulai membacanya.

Kepada: Mario

Aku merindukan kamu. Aku merindukan kamu. Sungguh, aku benar-benar merindukan kamu.

Semoga jiwamu setenang air danau sejernih embun di atas daun. Ketenangan batin lebih bermakna dari pada berlian. Hati yang mengendap di dasar kesadaran bahwa kamu masih dikaruniai kesempatan, lebih dahsyat dari pada kesempatan itu sendiri. Yah, Semoga Tuhan bersamamu dalam keadaan apapun. Engkau tahu, pada siapa lagi kita bergantung selain kepada-Nya?

Ah, semoga kamu bisa memaknai kalimat-kalimatku ini. Usiamu memang masih belia. Tapi semoga tak hanya kamu habiskan untuk tidur dan tak menyadari apapun bahwa kamu bisa terjaga dan menyaksikan betapa dunia penuh dengan warna. Aku menyebut begitu bukan tanpa alasan. Karena aku memang pernah mengalami waktu yang kau lewati itu.

Usiaku kini 25. Berarti jarak kita 8 tahun. Tapi tunggu dulu. Jangan buru-buru kau sebut waktu 8 tahun itu lama. Tidak! Sama sekali tidak. Waktu 8 tahun sangatlah singkat. Rasanya seperti menunggu kokok ayam jantan di pagi hari. Sementara di depanmu secangkir kopi, sebungkus rokok, dan teman-teman berbagi hati. Semakin lama asapnya semakin mengepung percakapan-percakapan tak bertema, tiba-tiba malam telah habis.

Begitulah, Mario. Di batas mana pun kita menggenggam usia. Toh kalo kita tak pernah benar-benar terjaga, habislah kita dalam sesal demi sesal yang akan menjerat kita di masa datang.

Nah, untuk itulah aku menulis surat ini untukmu, Mario. Aku tidak ingin kamu sekalipun berhadapan dengan penyesalan. Aku benar-benar tak menginginkannya.

Tangis Mario semakin mendalam. Ia berhenti membaca. Kesedihan itu tak terkata-kata. Ia tengok kanan kiri. Tak ada seorang pun di ruang isolasi itu.

Kamu tahu Mario? Aku sekarang sedang menangis. Ah, kemana harus jadi cengeng seperti ini?

Mario, pernahkah kamu membayangkan sebuah kengerian yang luar biasa? Aku tahu, kamu tak pernah membayangkannya sedikit pun. Aku sungguh tahu siapa dirimu. Yah, meski kadang aku benar-benar tak tahu tentang dirimu. Karena aku tidur. Aku tak terjaga. Aku membuta.

Ah sudahlah. Yang jelas aku tahu bahwa kamu tak pernah sekalipun membayangkan kengerian apapun. Sebagai bukti, kamu tak pernah kuat melihat darah. Seketika kamu melihat acara semacam, jejak kasus, patroli, lacak, investigasi, brutal, dan lain sebagainya yang selalu berbau kengerian di TV, segera saja kamu alihkan ke acara musik atau film. Benar bukan? Ya, aku selalu berkata benar mengenaimu. Dan aku akan berkomentar mengenai kebiasaanmu itu.

Yah kamu punya kebiasaan buruk. Jelek, jahat. Dan egois.

Semenjak kamu bergaul dengan lingkungan yang buruk, engkau berubah. Kamu tahu. Ayah ibu tak pernah mengiyakan segala kenakalanmu. Mereka selalu mencegahmu. Tapi kenapa kamu bandel! Ndableg! Bengal! Nakal!

Sudah saja lah aku bicara mengenaimu. Itu hanya akan membuka memori yang tak pantas dikenang. Sekarang gantian aku yang akan bercerita mengenai diriku saat ini.

Mario, sekarang usiaku 25, Kita terpaut jarak dan waktu selama 8 tahun. Usiamu sungguh usia yang ranum dan segar. Tapi kenapa kamu tak pernah kelihatan ranum dan segar?

Ah sori. Aku tak bermaksud kembali ke permasalahan tentang dirimu. Aku sekarang akan benar-benar bercerita mengenai diriku saja.

Mario, dulu aku tak pernah membayangkan semua ini akan terjadi. Aku benar-benar tak pernah membayangkan. Kamu tak pernah membayangkan kengerian, bukan? Tentu tak akan faham maksudku.

Bahkan kini aku berada dalam kengerian-kengerian yang bertubi-tubi. Seakan dunia yang bermacam warna ini memilihkan satu warna saja untukku. Yaitu warna kelabu. Begitulah nasib diri. Hanya satu warna saja; kengerian.

Sekarang yang bisa aku lakukan hanya berbaring di tempat tidur dan tak bergerak. Makan, minum, dan buang air aku lakukan di tempat yang sama. Di atas tempat tidur. Termasuk ketika aku menulis surat ini.

Engkau jangan salah. Aku bukan benar-benar menulis. Kamu tahu aku tak bisa bergerak. Aku hanya bisa bicara. Ada Mbok Minten di sisiku. Kamu pasti kenal dengan pembantumu yang dulu sering kamu bentak, kamu caci, dan entah apalagi yang membuat sakit hatinya. Kini ia jadi orang paling setia di sisiku. Sementara ayah ibu sesekali saja menjengukku di rumah sakit ini. Engkau kan tahu, mereka sangat sibuk mencari uang untuk aku. Biaya rumah sakit di manapun pastilah mahal. Aku tak menyalahkan mereka. Aku sama sekali tidak menyalahkan mereka. Aku tak ingin menyalahkan siapapun juga, aku hanya ingin menyalahkanmu saja.

Kembali ke aku. Tapi sebelum benar-benar aku mengatakan tentang diriku. Kuharap kamu tak perlu terkejut. Tak perlu menghiba atau apapun. Karena aku sangat tahu. Kau paling benci dengan perasaan iba dan sedih. Yang kamu tahu hanyalah kesenangan dan kesenangan. Aku sangat tahu siapa dirimu.

Mario, aku kena AIDS. Kamu pasti tak kaget, kan? Temen-temenmu banyak yang telah mengalami hal seperti aku. Ada Rho, Manne, Tot, Jud, dan entah sekarang berapa orang lagi yang telah terserang.

Tubuh semakin lama semakin tak berguna. Hanya kesakitan demi kesakitan yang aku rasa. Kebahagiaan adalah masa lalu. Dan yang jelas sekali terasa, masa depan adalah kematian. Masa depan yang sebenarnya selalu kuinginkan datang lebih awal. Tapi aku tak bisa menjemputnya, Mario. Aku sekarang tak bisa apa-apa. Hanya di atas tempat tidur. Hanya di atas tempat tidur. Dan sebenarnya pula, aku tak pernah punya keberanian untuk menjemputnya. Tak pernah punya. Aku takut, Mario. Aku takut pada Tuhan. Aku tak ingin sisa kesempatan dari Tuhan ini, kuabaikan seperti engkau telah mengabaikan-Nya dulu.

Ah, kenapa baru sekarang aku mengenal Tuhan? Kenapa mario?

Yang jelas ini terjadi karena kamu, Mario. Ini semua terjadi karena kecerobohanmu. Karena ketololanmu. Karena kesalahanmu memaknai masa remaja masa ketika jiwamu menggelora. Semua karena kesalahanmu. Aku mengutukmu, Mario. Aku mengutukmu!

Seandainya dulu kamu tak pernah mencoba narkoba. Seandainya dulu kamu tak pernah mengagungkan sex bebas. Seandainya dulu kamu tak pernah memakai ganja, seandainya dulu kamu tak pernah berbuat yang hanya akan merusakkan dirimu sendiri, niscaya aku tak akan sekarat setiap saat seperti ini, Mario.

Mario! Aku menyesal mengenalmu. Aku benar-benar menyesal!

Aku tahu, dulu engkau enggan memakai narkoba atau pesta sex dengan teman-temanmu, angkau hanya ingin minum saja. Tapi ternyata di situlah awal segala petaka. Dengan minum minuman keras, akal sehat jadi hilang. Setelahnya semua jadi tak ternalar. Dalam kondisi mabuk, semua bisa terjadi tanpa disadari, diam-diam teman-temanmu menyuntikkan obat terlarang ke tubuhmu. Lalu ketika disodori tubuh perempuan malam yang diboking temanmu dipinggir jalan, engkau tak lagi jijik maupun enggan. Dan semua keburukan segera mudah terjadi. Semua menjadi tak terkendali..

Kenapa dulu kamu tak pernah mengenal peraturan? Kenapa dulu kamu tak pernah mau tahu nasehat ibu bapak? Bahwa pergaulanmu perlu dibatasi. Kenapa kamu dulu tak pernah mengenal agama? Bahwa barang-barang yang kau konsumsi dan perbuatan-perbuatan yang kau lakukan adalah haram. Kenapa?

Aku tahu karena kamu hidup menggunakan otak. Dan seluruh otakmu dipenuhi dengan kesenangan demi kesenangan.

Aku tahu siapa dirimu. Aku benar-benar tahu siapa kamu.

Ah sudahlah. Aku bosan mengutuk. Aku benci memikirkanmu. Toh kamu tak akan pernah merasa dipikirkan. Toh kamu hanyalah masa lalu. Kamu hanyalah orang bebal yang hidup di delapan tahun yang lalu. Dan kamu hanyalah pecundang di delapan tahun kemudian. Saat ini. Di atas tempat tidur. Makan dan minum lewat selang infus yang memuakkan.

Aku muaak! Muak padamu Mario! Benar-benar muak.

Mario menghempaskan surat itu di sisinya. Nafasnya tersengal. Namun tak berapa lama ia mengambilnya kembali dan mulai membaca lagi.

Baru saja aku selesai menagis Mario. Menangisi dirimu. Menangisi diriku menangisi diri kita. Menangisi tangisan. Yang ternyata nikmat dirasakan untuk melarung penyesalan.

Mario, aku kira cukup sampai di sini saja. Seandainya aku dapat kembali, Mario. Aku memilih tak pernah menjadi engkau. Dan tak pernah mengenal narkoba, free sex, ganja, alkohol, dan segala macam kesenangan sia-sia. Aku akan menggunakan kesempatan itu dengan berbuat kebaikan setiap saat dan tempat. Aku janji.

Tapi aku tahu. Itu semua tak pernah mungkin. Kembali ke masa lalu hanya bisa terwujud dalam film. Lain tidak. Jadi lebih baik kini kukaji sendiri diri yang tergeletak sepi di atas tempat tidur. Bukan untuk mendengkur. Tapi untuk berfikir dan mulai menanam semangat dan keyakinan, bahwa aku masih punya kesempatan.

Mario, sekian saja suratku. Aku sadar, surat ini tak mungkin sampai padamu, padaku di delapan tahun yang lalu. Jadi biar kusimpan surat ini untuk dirimu delapan tahun ke depan. Untuk diriku di saat sekarang.

Di atas tempat tidur ini, aku hanya bisa berdoa, semoga Tuhan masih tetap Maha Pengampun dan Maha Pemberi Kesempatan. Amien.

Di atas tempat tidur

8 tahun semenjak aku berusia 17 tahun,

Mario

Mario mendekap surat itu. Ia mengusap air matanya. Tubuhnya tak bisa bergerak namun perlahan matanya bangkit. Bibirnya menyungging senyum. Ia telah menyesali sebagian hidupnya yang buruk namun ia sadar bahwa penyesalan berlarut hanya akan semakin membuat deritanya penuh sesak di dalam dada.

Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi, aku hanya bisa berdoa sepanjang hari dan tentu menyambut mbok Minten dengan senyuman paling tulus setiap hari. Ah, semoga ia menerima hal ini,”


Kotagede, 2008

Ingsun

mbantul, jogjakarta, Indonesia