Monday, July 27, 2009

aku tak ingin lagi menulis

aku tak ingin lagi menulis
sebab menulis itu membuatku jatuh cinta
dan kalo aku jatuh cinta
aku pasti akan memendamnya

nah, kalo keinginanku menulis terpendam
alangkah sial nasib hidupku
sebab mampus impianku
sebab tak lagi aku jadi penulis

“mangkanya kalo cinta jangan dipendam!”

hus, suara dari mana tuh!

matapena, 27 juli 09

Tuesday, June 30, 2009

Kisah Burung, Sangkar, dan Pohon

Bagian II

Di pohon rindang tak hanya satu burung
Bermain teduh di sela reranting dahan
Begitu banyak kicau membuah
Pohon hatinya bungah

“siapa lagi hendak singgah
Silakan saja ku sambut ramah”
Pohon berkabar lewat angin ke seluruh celah

“Tapi perlu ditahu
Buahku sedikit saja tersedia
Harus sama-sama bijaksana”

Sekali lagi pohon rekah rasa
Rindangnya meneduhkan
Buahnya mengenyangkan
Sesiapa singgah dipastikan betah

Hingga satu siang saat terik matahari menyerang
Terlihat beburung saling merapat
Semacam ada rapat
Namun ternyata mereka sama-sama sekarat
Buah pohon tak pernah cukup memberi manfaat
Bagi setiap burung hinggap

Malamnya saat bulan enggan datang
Pohon lesu dan merasa malang
Dirinyalah penyebab segala sengsara
Meski awal niatnya sungguh mulia

Dan anginlah sahabat setia
“kenapa murungmu sungguh layu?”

“sebab buahku hanya satu”

“begitulah takdirmu”

“maka biar kutawarkan saja pada tanah
Saat jatuh, kuharap akan ada yang tumbuh
Menjadi pohon-pohon lain lebih teduh”

Angin diam, ia hanya tersenyum
Pohon juga diam ia menahan ngungun
Beburung diam kicaunya tertahan

ahai, dan lihatlah sangkar, sepertinya akan ada satu burung
Yang menemaninya bukan untuk terpenjara
Tapi lagi-lagi memenjara…

Matapena, 27 Juni 2009

Saturday, June 6, 2009

Suhar; Catatan Santri Anyar

Aku tersentak. Monyet itu tiba-tiba melayang dengan sigap meluncur ke arahku tepat. Pekik seringai monyet itu melengking dahsyat. Tak sempat aku mengelak. Dalam sekian detik tubuhku terhentak ke tanah yang daunan di atasnya berserak.

Oleh sebab tubuhku kurus tak berlemak, aku lunglai dadaku sesak. Beradu dengan tanah keras membuat jantung hampir berhenti berdetak. Dalam jarak yang teramat sempit mataku matanya kembali bertemu. Bulat coklat. Sipit kornea hitamnya pucat. Seperti tak ada hidup dan harap. Aneh, ia diam saja sedari berada di atas dada. Hanya kepalan tangannya hendak menyepak kepala.

Tak ada hembus nafas. Tak ada bau yang khas. Dan ketika ku angkat badan, monyet itu tergeletak begitu saja di atas daunan. Dengan badan yang kaku teramat kaku.

Aneh, bisikku. Setelah detak dada teramat kencangnya, kini bulu tubuhku merinding. Kepalaku pening. Dan ketika kuusap bagian belakang. Telapak tangan sudah berlinang merah darah yang amis dan membuatku pingsan. Sekian detik sebelum aku pingsan, kulihat keanehan lain, sebuah percik api di tubuh monyet bagian belakang. Dan di sana terjulur seutas kabel yang nampak lentur.

Aku pingsan…

Suhar; Catatan Santri Anyar


Suhar sampai di hutan pertama. Ada seekor monyet menatapnya.

…apa mungkin aku bertanya padanya? pada monyet itu? aha, mungkin saja toh ia juga punya bahasa. ya bahasa monyet...

Sepersekian detik mataku mata monyet itu saling bertemu. Mulutnya meringis. Tiba-tiba ada bias ingat dalam benakku; kang Jaledeng!
Ya, suatu sore ketika dari speker masjid terdengar sayup salawat jelang maghrib, ia masih nggentaong di atas pohon pete. Ia paling suka makan pete.
“mangrib, kang!”
Suara entah siapa nyelonong ke telinga-telinga. Mencoba mengingatkan waktunya orang siapkan sembahyang. Termasuk telinga kang Jaledeng tentunya. Namun apa hendak dikata, ia kadung asyik memetik tangkai demi tangkai buah makruh itu. Hingga ketika adzan kumandang, ia masih asyik saja tertawa-tawa.
“Dahsyat! Dahsyat! Akan kubuat seluruh hidung mampat!”
Aku gelang-geleng sambil berlalu ke tempat wudlu. Tiba-tiba…
BLUGGG…!
Bumi sedikit bergetar. Ada benda jatuh dari langit. Orang-orang tetap berlalu lalang. Hilir mudik ke kulah tuk wudlu lalu ke masjid sembahyang. Mereka tak hirau sebab cahaya redup separo. Aku tengok kepala sedikit ke belakang. Ada yang meringis di bawah pohon pete.
Aha, sekarang aku ingat, seringai monyet itu mirip cengir kang Jaledeng waktu jatuh dari pohon pete. Haha…
Lalu dengan bahasa apa aku bertutur sapa? Aku hanya ingin tahu, di mana barat arah kiblat? Sungguh, aku ingin sholat…
Kukuk… kakak.. kuk…

(tobe continue)

suhar: catatan santri anyar

ini hutan pertama yang akan kusinggahi. entah di mana kang jaledeng dan kang abdurrahman. mungkin mereka sudah sampai kebanyak tempat. sedang aku baru sampai satu tempat saja. maklum, mencari hutan di indonesia sekarang sulit luar biasa. banyak yang sudah gundul entah ducukur siapa.
kami berpisah dengan damai di ujung sore. saling bertukar cendera mata; bekal masing-masing milik kami.
kubuka bungkusan sarung milik Jaledeng. ini kali pertama aku akan tahu apakah isinya.
1. sarung pudar warna entah putih atau kuning. dan ngeper
2. kaos jupiter ada bolong dua tempat deket leher. warna entah putih entah kuning
3. salep 88
4. sandal selen.
tak ada yang istimewa. 1 dan 2 seperti kebanyakan santri lainnya. 3 juga, ia santri modern, memilih mengobati gasebo-nya (ga-ruk-garuk se-kitar bo-kong) dengan salep dari pada membiarkannya menjadi melodi paling enak ketika digenjreng tangan penggitar. 4? hmmm? ketika berpisah kulihat ia memakai sandal dengan komposisi yang sama. mungkin hmmm... biar tak di ghosob? ah siapa pula yang sudi, toh bagian tumitnya sudah habis tipis.
***
sehabis mandi di sungai hutan tak bernama, kuganti bajuku dengan milik kang Jaledeng. aku kangen ia. santri senior yang menurutku unik. salah satu santri dari sedikit santri yang aku kenal di pesantren. maklum aku memang anyar di pesantren al-ganduli itu. aku tinggal baru tiga hari dan memang cuma tiga hari itu. sebab setelahnya kiai segera mengutusku mencari Mutiara Mahdzuf menemani kang Jaledeng dan kang Abdurrahman.
"sekarang kamu makan baceman daging ini," kata kang Jaledeng serius menatapku tak putus.
"terima kasih, kang,"
segera ku santap saja makanan. ia diam. ada sesuatu yang ditahan. kupilih daging diiris kecil2 itu. ah, kenapa daging di sini berasa aneh dan alot?
kulirik kang Jaledeng. senyum tipis setipis kumisnya yang lele.
kukunyah lebih cepat langsung kutelan saja. sungguh alot. aku berhasil membuat perutku kembung dengan makanan kang Jaledeng. sehabis muntah-muntah di kulah, baru ku sadari, sendal swalow-ku hilang satu. tinggal trampatnya saja.
aha, pelajaran pertama, hati-hati dengan makanan kang Jaledeng.
untung di bungkusan sarung bekal kang jaledeng ini tak ada makanan. aku aman. kini kuayun langkah menuju hutan lebih tengah. hutan tak bernama semakin gelap dan suram. sebab matahari semakin angslup keujung cakrawala.
kucari dimana Mutiara Mahdzuf itu? aku berhenti. melihat monyet mulai memerhati. entah kenapa aku kembali teringat kang Jaledeng ada sesuatu yang mirip. kadang ingatan manusia bercampur dalam rangkaian kaitan terpaksa. apa mungkin aku bertanya padanya? pada monyet itu? aha, mungkin saja toh ia juga punya bahasa. ya bahasa monyet...
(bersambung, insyaallah)

Kisah Burung, Sangkar, dan Pohon

Seekor burung dalam sangkar melihat dengan mata binar
Pohon berdaun hijau lebat bertubuh kekar di samping sangkar
Pikirnya melayang membayang
Berkicau gurau di dahan dan reranting pohon hijau

“Pohon, andai aku bisa bermain
Di hijau daun rimbun tubuhmu
Alangkah bahagia diriku”

Sangkar masih terpekur tak tahu sampai di mana alam pikir burung
Tercecar terpencar
Ia diam, hanya diam
hingga waktu mengajarkan perubahan dan kejutan demi kejutan

“Sangkar, katakan kau sudah tak lagi nyaman
Tiap hari kubuat kau kucakar dan kotor
Sebab kicauku parau sebab tarianku kacau”

Sangkar diam menatap burung
Selama ini bukan ia yang memenjara
Tapi sebaliknya, ia yang terpenjara
Tak mampu ke mana-mana dan tak berbuat apa-apa
Sebab burung terlalu berharga untuk di tinggal begitu saja
Akhirnya diamlah ia di seribu sunyi

“Katakan kau bosan!” pinta burung
Dengan air matanya yang lincah semakin buncah

Oleh sebab sangkar diam saja
Perlahan pintunya terbuka
Paruh burung begitu lincah membius udara
Hingga udara bernyanyi menari
Dan membuat daunan dan reranting pohon ikut bernyanyi menari
tak sengaja turut andil membuka pintu sangkar yang tercekat
oleh dahsyat burung bermusylihat

Perlahan, amat perlahan burung beranjak terbang
Sangkar hanya terpekur takjub
“Bahkan ketika engkau pergi, aku hanya bisa bisu
Tak ada air mata untuk dilinangkan rasa”

Perlahan, dengan amat perlahan
burung menerobos daunan hinggap di ranting dan dahan
Yang sedari kemarin sungguh menarik hatinya
Sebab lebat daunan hijau di tubuhnya
Menjanjikan nyaman di dada

“Kenapa sangkar menangis? Tanya pohon pada burung.
“Sebab ia bosan memenjaraku” jawab burung

Dalam hati pohon berkata sendiri
“Apakah mungkin sangkar menjadi pembosan seperti itu?
Sedang kutahu burung itulah satu-satunya jiwa
yang hidup dalam dirinya

“Aku terbang perlahan, teramat perlahan sebab hancur dan keping
Rasaku meretas satu-satu seperti halnya bulu-bulu
Tercerabut dari tubuhku”
Kembali burung meyakinkan pohon bahwa ialah yang menderita

Pohon, dalam keriput kulit tubuhnya masih merangkai tanda tanya
Hingga suatu saat angin menari gemetar
Sebab nyanyian menyayat berkesiur dari tubuh sangkar

“Aku telah lama terpenjara oleh isi dalam jiwa
Hingga seluruh apa yang dilaku dan berada
Menjadi nyanyian paling indah, tarian paling gemulai, dan kotoran paling wangi
Namun oleh karena keterpesonaanku itulah
Tubuhku lemas tak sengaja rela melepas
Satu-satunya jantung yang berdetak dalam tubuhku
Oh, angin, sampaikan pada pohon
Bahwa setelah hilang burung tersayang
Aku benar-benar menjadi kosong dan mati
Hanyalah sangkar lumpuh yang tak lagi fungsi
Kecuali mengabadikan keindahan masa lalu
Saat kicau masih menggema dalam diriku
Tanpa burung, apalah aku”

Tangisnya tanpa air mata
Pedih kata-katanya tanpa suara

Pohon berhenti bergoyang meski burung
Menari di sela reranting dahan
Ia masih berfikir apa yang harus dilakukan
Agar sangkar, angin, dan burung
Tak perlu lagi mendengar dendang kepedihan
Entah yang palsu entah yang sungguhan

Kotagede, 02 Juni 2009

Sunday, March 29, 2009

menyusuri seyummu

Menyusuri senyummu
Serupa menapak lawu
Ketika cumbu demi cumbu adalah kabut
Kita menari di tebing maut

Lalu rindu membatu
Berlumut di dasar laut sunyi
Tak pernah lagi berjabat dengan pagi

Kekasih,
Jangan lagi kau kenalkan ombak padaku
Pantai ini tanpa karang

Sebab laut yang sempurna
Tentu penuh buih dan debur
Sedang aku hanya sanggup menyiapkan pasir
Meski kau bangun istana
kan hancur tersapu abrasi air

Wednesday, March 18, 2009

pada sebuah laut

pada sebuah laut
akulah udara
hanya mencium muka
dan bibir pantai saja

lalu 3 hari ini kutemu selimut batu
merangkulku ke dasar
samudera paling akar
; menemu diri penuh nilai
menemu semua ingin damai

maka biarlah batuku mutiara
senyum orang saat mendapatkannya

maka biarlah batuku bintang menyala
biar padang langit-langit hati
kawan sahabat semua

maka biarlah batuku batu kali
di alir yang meski keruh kokoh menjadi-jadi

maka biarlah aku udara
sekaligus batu
yang sadar bahwa di dasar dunia gelap samudra
pasti ada ikan yang bercahaya

di sammudra itu
aku ingin pula menjadi ikan
sekaligus menjadi cahayanya

jakarta, 16 maret 2009

Tuesday, February 17, 2009

di pematang

di pematang antara tatapku dan bening matamu
tumbuh rumputan saksi
dan ranum buah mesim semi
kuning penuh bulir padi
dan sepoi udara subuh hari
di hentakan cangkul para petani

seandainya dapat kuikat waktu
biarlah begini saja kita bertemu
dan tak ada sore
memaksa pulang burung-burung ke sarang

sebab di pematang ini
tapak sejarah kita riuh anak-anak desa
berdolanan di bawah pohon harapan
di sela jerami cita-cita

mimpi kita masihkah satu
bertemu di bawah pohon jambu
di semak perdu di gubuk sepi
tanpa bising raung gergaji
tanpa asap kemrosak jatuhan pohonan jati
yang di sana tumbuh riuh beton-beton abadi?

mumpung tapak kita masih di pematang
yuk kita abadikan
meski hanya sebatas foto usang

Rumah Matapena, 13 Feb 2009

Thursday, January 29, 2009

Anggota Dewan Amakezuuq

Amakezuuq menggencet gas mobil volvonya dalam-dalam. Ia tak memperdulikan lagi apa-apa yang ada di depannya. Ia laju mobilnya dengan kecepatan maksimal. Presss-presss-presss. Semua yang kebetulan berada di depannya remuk ditubruk. Mobil-mobil yang lalu lalang ringsek ditabrak. Rombongan rakyat pejalan kaki biasa, para mahasiswa yang sedang berdemo, para buruh kecil yang sedang bekerja, bahkan teman sendiri yang ia tak sadari, dan semua yang menghalangi jalan mobilnya hancur habis dilibas, luluh lantah rata dengan aspal. Jalan berubah menjadi semacam aliran sungai yang panjang. Rongsok-rongsok mobil seolah menjadi batuan sungai. Bangkai-bangkai manusia menjadi makanan ikan. Darah yang muncrat membanjir menjadi aliran airnya. Sedang Amakezuuq sendiri menjadi ikannya tentu.
"Mounthesmouny harus segera tahu apa yang aku bakal kabarkan padanya sebagai oleh-oleh pulang kerjaku. Harus tahu!" Amakezuuq menyeringai dan kelihatanlah gigi-gignya yang tajam selayak gigi-gigi piranha. Tertawa.
Siang memang begitu panas. Pun Amakezuuq tak mempedulikan terik yang menyengat, sebab memang ia berada di dalam mobil full AC, jadi tak perlu risau kepanasan. Apalagi, ia tampak gembira sekali karena membawa berita yang bakal membuat istrinya menjadi lebih bangga lagi padanya. Sehingga mengepullah semangat Amakezuuq seperti aspal yang terpanggang matahari. Ia segera ingin melihat wajah istrinya yang pasti bakalan ceria setengah mati. Dengan sigap ia putar sendiri kendali sopir dengan gesit. Ia memang menyopiri sendiri mobilnya. Ia tak begitu percaya dengan orang lain. Pernah suatu kali ia punya sopir pribadi. Dan gara-gara sopir itu, hampir saja ia dipecat istrinya gara-gara selingkuh dan bermain cinta dengan seorang ABG di dalam mobil itu. Sopir itu, saking jujurnya tak mau disuap seperti kebanyakan sopir yang lain. Malah ia bocorkan rahasia Amakezuuq pada istrinya. Walhasil hampir ia dipecat istrinya. Bukannya ia takut kehilangan istrinya, tapi ia takut jabatannya dikepartaian menjadi goyah. Mau tak mau ayah istrinya adalah salah satu pendiri partai, sesepuh partai yang masih diakui sabdanya. Jadilah Amakezuuq takut dengan Mounthesmouny, istri tercintanya. Dan untuk kali ini ia benar-benar akan memberi kejutan luar biasa pada istrinya itu. Harapannya tak muluk, ia akan semakin disayang istrinya dan kedudukannya semakin mantap. Dengan sigap Amakezuuq menghentak-hentakkan gas dan membuat aliran sungai semakin panjang dan amis.
***
Satu tahun terakhir ini Amakezuuq telah menjadi anggota dewan. Ia menjadi wakil dari beratus-ratus jiwa rakyat lain yang tak sempat mewakili diri mereka sendiri di negri Brencweichxini. Negeri dengan keindahan alam yang luar biasa namun sayang tak terurus dengan baik karena konflik politik yang berkepanjangan. Sebenarnya ada juga yang menyempatkan diri mengurusnya, namun itu pun hanya segelintir orang dan hasilnya pun hanya mereka sendiri yang memakannya. Dan kebanyakan yang lain hanya mampu mendengar dongengnya saja, tentang kekayaan negeri yang tak tahu raib ke mana. Dan Amakezuuq adalah salah satu yang memperhatikan masalah tersebut. Dan tentu saja ia juga yang merasakan, mencicipinya bahkan melahapnya. Selama itu pula banyak sekali perubahan terjadi pada dari Amakezuuq mulai dari finansialnya yang semakin menumpuk sampai kedudukannya yang menanjak. Para bawahannya semakin merasa segan padanya. Semakin takut. Mungkin mereka takut tak dapat bunus dari atasannya itu, atau paling tidak dapat pujian darinya. Rambutnya yang dulu tebal ikal menawan kini bertambah semakin tipis dan rontok. Ia terlalu serius memikirkan rakyat, barangkali. Kepalanya menjadi sangat besar dan sangat keras. Badannya yang dulu atletis sekarang tampak tambah gendut dan perutnya tambah buncit. Oh, tampak ganteng sekali. Gadis-gadis ABG banyak yang menyukainya. Bahkan banyak artis yang tergila-gila padanya. Mereka bersedia untuk dijadikan istrinya yang keberapa pun. Baik resmi, tak begitu resmi maupun tak resmi sekali. Kabarnya kalau menjadi istrinya, dari semua kategori di atas, maka ia akan tercukupi kebutuhannya sampai tujuh turunan. Dan kabarnya yang lain pula, banyak sudah yang menjadi istrinya. Tentu tanpa sepengetahuan istri tercintanya, Mounthesmouny yang terkasih.
Memang pantas kalau Amakezuuq menjadi idola, sebab ia memang tampak gagah dengan stelan jas buatan negeri seberang jauh. Apalagi kakau pas ia keluar dari mobil-mobil mewahnya yang lain yang jumlahnya tak cukup dihitung dengan jari. Tapi ada satu hal yang mengganjal dalam hatinya terutama bila berhadapan dengan istrinya. Ia menyimpan suatu rahasia besar. Tentang keadaan dirinya. Ia takut istrinya mengetahui. Bukan masalah tentang istri-istrinya yang lain, namun ini menyangkut keadaan fisiknya. Dan mau tak mau ia harus memberi tahu, sebab istrinya masih sering meminta jatah bercinta padanya. Kalau ia menolaknya, pastilah istrinya itu akan marah, namun kalau tidak ditolak, rahasianya itu akan segera terbongkar. Dan ia sangat takut hal itu terjadi, ia akan dipensiun. Dan akhirnya diputuskan olehnya untuk mengatakan yang sesungguhnya. Pada suatu malam sebelum bercinta.
"Mounthesmouny, istriku tercinta dan tersayang seluruh dunia, aku ingin bicara," ucap Amakezuuq pada istrinya di atas ranjang. Masih dengan piyama lengkap. Belum dicopoti.
"Silahkan saja, Amakezuuq terseksi," Mounthesmouny mulai membuka kancing baju tidurnya satu demi satu sembari bergenit-genit mencoba menggoda Amakezuuq. Dengan ragu-ragu Amakezuuq menguatkan hati menarik nafas dalam-dalam dan berkata.
"Aku jadi seperti sundel bolong," Amakezuuq tampak gugup dan berkeringat.
"Maksudmu?" seru Mounthesmouny tak begitu memprhatikan. Ia meliuk-liukkan tubuhnya yang tinggal berpakaian dalam dan tampak masih mulus karena perawatannya yang super extra ketat. Maklum banyak dana.
"Lihatlah dadaku," ucap Amakezuuq lirih penuh ragu dan takut. Keringat dingin terus mengucur. Dengan perlahan ia buka piyamanya.
"Bolong?!!" Mounthesmouny terperangah hebat menyaksikan dada suaminya yang bolong sampai tembus. Lubang itu berdiameter satu kepalan tangan. Bila melihat Amakezuuq telanjang dada, maka akan dapat dilihatlah apa-apa yang ada di belakangnya. Perlahan Mounthesmouny menghampiri Amakezuuq yang terduduk di atas tempat tidur dengan gugup. Ia amati dada suaminya itu. Sontak ia pun tertawa.
"Menakjubkan!" seru Mounthesmouny tak terduga. Lalu ia ciumi suaminya itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Amakezuuq menjadi sangat tak mengerti. Ia sungguh tak mengerti kenapa justru istrinya sangat senang melihat dadanya yang bolong itu.
"Maksudmu apa?" tanya Amakezuuq heran.
"Itu berarti kita akan cepat lebih kaya lagi," dan terus Mounthesmouny semakin termakan birahi, segera ia hempaskan tubuh suaminya itu ke atas tempat tidur. Namun suaminya masih kebingungan.
"Maksudmu?" tanya Amakezuuq lagi.
"Maksudku?" kata Mounthesmouny.
"Ya, maksudmu?" tegas Amakezuuq. Lalu perlahan Mounthesmouny menghentikan serangannya.
"Kamu akan tahu sendiri nanti setelah beberapa kali bersidang," ditubruk lagi tubuh tambun suaminya itu. Kebingungan Amakezuuq belum hilang sepenuhnya, namun segara ia simpan pertanyaan-pertanyaan yang lainnya karena ada jawaban di depannya, ya, tubuh istrinya. Segeralah mereka bergumul seperti layaknya suami dan istri normal.
Benar-benar di luar dugaan, istrinya berkomentar jauh dari apa yang ia kawatirkan sebelumnya. Mounthesmouny justru tampak takjub dan gembira, melihat perubahan pada dirinya. Sejak saat itu Amakezuuq tampak lebih percaya diri. Ia semakin yakin keadaanya akan membuahkan suatu yang luar biasa. Jadilah ia tak sungkan lagi membicarakan hal itu pada rekan-rekannya yang lain. Ia berharap teman-temannya akan terkesima pula pada dirinya dan mengagumi atau bahkan mengelu-elukannya.
Pada persidangan kesekian kali, Amakezuuq sungguh dikejutkan oleh ulah teman-temannya yang terus-menerus mendesaknya untuk mengatakan cara dia supaya bisa berlubang di dada tersebut. Tentu saja ia mengatakan yang menjadi rahasianya tersebut. Tapi rahasia yang entah bagaimana, hanya mereka yang tahu.
Seperti yang dikatakan Mounthesmouny pada Amakezuuq tempo waktu, keajaiban yang terjadi akibat dirinya yang pertama adalah, secara tak disangka teman-temannya meniru dirinya. Semua bersidang dengan dada bolong. Hal itu diketahui karena mereka bersidang dengan keadaan telanjang dada.
"Terima kasih atas rahasiannya, kau pantas mendapat penghargaan dari fraksimu," seorang teman dari fraksi lain yang juga sealiran dengan fraksinya menyambut gembira atas keadaan yang terjadi.
Sebenarnya ada juga beberapa anggota dewan yang lain yang tak setuju dengan situasi dan kondisi yang terjadi. Namun jumlah mereka hanya sedikit. Hanya beberapa orang saja. Akhirnya mereka hanya diam. Seperti tak punya hak bicara. Kalau yang lain ngomong, baru mereka ikutan ngomong. Kalau yang lain tertawa mereka ikut tertawa. Meski ngomong mereka beda, meski tertawa mereka beda, tapi tak ada yang menggubris mereka. Mereka seperti angin lalu meski yang diomongkan badai. Seumpama ada yang komentar, paling-paling hanya dengan nada mengejek atau lebih parah lagi dengan nada membunuh. Akhirnya mereka akan walk-out dan suara mereka, yang dianggap sumbang oleh sebagian yang lain, meski sebenarnya merdu, akan segera lenyap tak terdengar lagi. Suara lebih dari puluhan ribu umat yang tersisih. Terbuang ke tempat sampah.
Menjadi suatu yang aneh dan mengherankan memang pada awal kemunculan Amakezuuq dengan dada bolongnya. Namun lama-kelamaan jadi suatu hal yang jamak dan segera meluas. Biasa. Tak pantas disebut antik atau menakjubkan. Karena disamping semua anggota dewan telah berdada bolong, ternyata disusul pula dengan dada para petinggi di negeri Brencweichx. Presiden negeri itu, yang semula dadanya bagus menawan sekarang menjadi bolong pula di dada sebelah kirinya. Seperti penyakit menular, mewabahlah peristiwa bolong di dada sebelah kiri menjangkiti tiap-tiap komponen bangsa. Meski ada pula yang tidak, dan itu sangat sedikit. Tak berarti apa-apa. Yang mayoritas adalah mereka yang bolong di dada sebelah kirinya dengan diameter sebesar kepalan tangan. Bagi mereka yang tak mengikuti tren ini harus berani malu dan dibilang kuno. Karena mereka sangat sedikit dan tak berarti apa-apa bahkan mereka bisa disebut suku terasing sangat ortodok.
Belakangan Amakezuuq jadi tahu kenapa istrinya senang dengan keadaan dirinya. Dulu, sewaktu ayahnya masih jadi anggota dewan, beliau juga pernah mengalami hal yang sama, dada sebelah kirinya bolong. Setelah itu keadaan keluarganya berubah. Mereka menjadi terus bertambah kaya saja. Benyak sekali orang yang menyumbang, banyak sekali kebijakan yang dikeluarkan menyangkut kesejahteraan bagi mereka semakin saja meningkat tajam. Setelah tahu bahwa ternyata dulu keadaan ini pernah terjadi, Amakezuuq menjadi tak bangga lagi. Ia ingin sensasi yang lebih menggigit. Ia ingin menjadi antik lagi dengan gaya baru. Agar semakin dicintai sama istrinya yang kata istrinya akan menjadikannya kaya. Segala cara ia upayakan. Dan hasilnya inilah yang akan segera diperlihatkan pada istri tercintanya, Mounthesmouny tersayang. Ia ingin cepat-cepat pulang dan memperlihatkan keantikannya yang lain, yang baru saja diperolehnya pada Mounthesmouny.
Tak lama setelah melewati jalan yang telah ia rubah menjadi sungai itu, sampai juga ia di rumahnya. Mounthesmouny sudah menunggu kedatangannya di ruang tengah.
"Surprize!" seru Amakezuuq sembari membuka pintu dan langsung menghambur memeluk istrinya. Waktu itu Amakezuuq masih menggunakan penutup kepala ala pendaki gunung.
"Ada apa? Suami tercintaku?" Mounthesmouny tampak keheranan melihat gelagat suaminya yang mencurigakan yang lain dari biasanya.
"Ini!" Amakezuuq membuka penutup kepalanya. Mounthesmouny terperanjat takjub.
"Alangkah dahsyatnya, suamiku. Engkau benar-benar suamiku. Engkau akan lebih cepat kaya dengan mudah," Mounthesmouny tertawa bangga sekaligus bahagia sekali. Ia merasa sangat senang dengan kedaan suaminya tersebut.
"Bakal arisan terus aku," seru Mounthesmouny dalam hati.
"Tapi kenapa tadi harus kamu tutupi?" tanya Mounthesmouny.
"Aku takut ketahuan tetangga," jawab Amakezuuq lugu.
"Tak usah takut, nanti lama-lama juga mereka akan tahu. Yang penting kita bisa lebih kaya dengan cepat," bimbing Mounthesmouny. Amakezuuq menjadi lebih percaya diri.
Tubuh tanpa kepala? Busyet. Kini Amakezuuq harus kehilangan kepala satu-satunya. Berhasil ia buat keanehan lagi. Namun tampaknya masih ada sedikit keunikan lagi. Ternyata masih ada bagian dari kepalanya yang tidak turut hilang. Masih ada dua buah bola mata dan mulut dengan gigi yang kuning dan bau. Bola matanya berkilau merah amarah. Bila terbentur sesuatu bidang, semisal dinding, sorot itu akan menggambarkan tumpukan uang. Seperti sorot sinema. Tiap yang ditatap akan sengsara hidupnya, tentu bila memandang yang tak ia sukai. Bila berbicara dengan orang itu, ia akan membuatnya merana. Amakezuuq girang sekali. Apalagi tatkala sidang, taman-temannya terkagum-kagum dan akhirnya mereka menirunya. Tentu dengan rahasia yang tidak boleh diketahui oleh pihak lain. Hanya khusus yang sealiran dengan pendapatnya.
Keadaan ini berlangsung terus menerus dan selalu ada yang baru dari Amakezuuq. Perkembangannya sangat cepat. Dan yang paling merasa bahagia adalah istrinya, Mounthesmouny. Setiap pulang sidang, ia selalu diberi oleh-oleh yang antik dari Amakezuuq. Setelah kepalanya hilang, biji matanya yang masih tertinggal itu berangsur ikut meleleh satu persatu. Lalu disusul mulut baunya. Tak sampai di situ. Pada sidang selanjutnya ia pulang dengan tangannya yang raib. Disusul perutnya buncitnya. Lalu kakinya hilang lebih dulu. Tinggal satu organ yang tertinggal tak ikut menghilang. Amakezuuq bersidang dengan organ itu. Mounthesmouny meloncat-loncat bangga. Bahagia. Ia kini punya suami yang luar biasa antik. Suami yang akan membuatnya lebih kaya. Suami yang tinggal batang dzakarnya.

Kotagede

Monday, January 19, 2009

10.59

tiba-tiba kau acungkan senapan
dalam nafasku teratur
pelurumu terus meluncur
tepat di dada kiriku yang lentur
yah, kekosongan membuat hati lebih gembur
menanam apa saja seolah menjatuhkan air
di kemarau panjang penantian


ef, aku butuh waktu tak sekedar wajahmu
bercakap lama tentang diri tentang hati
agar sama tahu sedalam mana
bening mata menyimpan rasa

sebab hidup tak menjatuhkan rindu
oleh sebab itu aku mencari tahu

matapena, 20 Jan 2009

Tuesday, January 13, 2009

jalur gaza

apa yang harus dilakukan seorang guru melihat perang yang terjadi di jalur gaza?
1. mengerti kontek (paling tidak ada 3 media berbeda yang dijadikan rujukan; koran 3 merk, buku 3 judul, TV tiga stasiun)
2. mendoakan agar kedzaliman dihentikan di sana.
3. membantu korban perang dengan harta (semampunya). bisa disalurkan pada lembaga yang berkopenten.
4. kembali ke kelas dan mengajarkan pada siswa tentang indahnya kedamaian.
selebihnya, lakukan yang baik-baik saja...

Ingsun

mbantul, jogjakarta, Indonesia