Tuesday, June 30, 2009

Kisah Burung, Sangkar, dan Pohon

Bagian II

Di pohon rindang tak hanya satu burung
Bermain teduh di sela reranting dahan
Begitu banyak kicau membuah
Pohon hatinya bungah

“siapa lagi hendak singgah
Silakan saja ku sambut ramah”
Pohon berkabar lewat angin ke seluruh celah

“Tapi perlu ditahu
Buahku sedikit saja tersedia
Harus sama-sama bijaksana”

Sekali lagi pohon rekah rasa
Rindangnya meneduhkan
Buahnya mengenyangkan
Sesiapa singgah dipastikan betah

Hingga satu siang saat terik matahari menyerang
Terlihat beburung saling merapat
Semacam ada rapat
Namun ternyata mereka sama-sama sekarat
Buah pohon tak pernah cukup memberi manfaat
Bagi setiap burung hinggap

Malamnya saat bulan enggan datang
Pohon lesu dan merasa malang
Dirinyalah penyebab segala sengsara
Meski awal niatnya sungguh mulia

Dan anginlah sahabat setia
“kenapa murungmu sungguh layu?”

“sebab buahku hanya satu”

“begitulah takdirmu”

“maka biar kutawarkan saja pada tanah
Saat jatuh, kuharap akan ada yang tumbuh
Menjadi pohon-pohon lain lebih teduh”

Angin diam, ia hanya tersenyum
Pohon juga diam ia menahan ngungun
Beburung diam kicaunya tertahan

ahai, dan lihatlah sangkar, sepertinya akan ada satu burung
Yang menemaninya bukan untuk terpenjara
Tapi lagi-lagi memenjara…

Matapena, 27 Juni 2009

Saturday, June 6, 2009

Suhar; Catatan Santri Anyar

Aku tersentak. Monyet itu tiba-tiba melayang dengan sigap meluncur ke arahku tepat. Pekik seringai monyet itu melengking dahsyat. Tak sempat aku mengelak. Dalam sekian detik tubuhku terhentak ke tanah yang daunan di atasnya berserak.

Oleh sebab tubuhku kurus tak berlemak, aku lunglai dadaku sesak. Beradu dengan tanah keras membuat jantung hampir berhenti berdetak. Dalam jarak yang teramat sempit mataku matanya kembali bertemu. Bulat coklat. Sipit kornea hitamnya pucat. Seperti tak ada hidup dan harap. Aneh, ia diam saja sedari berada di atas dada. Hanya kepalan tangannya hendak menyepak kepala.

Tak ada hembus nafas. Tak ada bau yang khas. Dan ketika ku angkat badan, monyet itu tergeletak begitu saja di atas daunan. Dengan badan yang kaku teramat kaku.

Aneh, bisikku. Setelah detak dada teramat kencangnya, kini bulu tubuhku merinding. Kepalaku pening. Dan ketika kuusap bagian belakang. Telapak tangan sudah berlinang merah darah yang amis dan membuatku pingsan. Sekian detik sebelum aku pingsan, kulihat keanehan lain, sebuah percik api di tubuh monyet bagian belakang. Dan di sana terjulur seutas kabel yang nampak lentur.

Aku pingsan…

Suhar; Catatan Santri Anyar


Suhar sampai di hutan pertama. Ada seekor monyet menatapnya.

…apa mungkin aku bertanya padanya? pada monyet itu? aha, mungkin saja toh ia juga punya bahasa. ya bahasa monyet...

Sepersekian detik mataku mata monyet itu saling bertemu. Mulutnya meringis. Tiba-tiba ada bias ingat dalam benakku; kang Jaledeng!
Ya, suatu sore ketika dari speker masjid terdengar sayup salawat jelang maghrib, ia masih nggentaong di atas pohon pete. Ia paling suka makan pete.
“mangrib, kang!”
Suara entah siapa nyelonong ke telinga-telinga. Mencoba mengingatkan waktunya orang siapkan sembahyang. Termasuk telinga kang Jaledeng tentunya. Namun apa hendak dikata, ia kadung asyik memetik tangkai demi tangkai buah makruh itu. Hingga ketika adzan kumandang, ia masih asyik saja tertawa-tawa.
“Dahsyat! Dahsyat! Akan kubuat seluruh hidung mampat!”
Aku gelang-geleng sambil berlalu ke tempat wudlu. Tiba-tiba…
BLUGGG…!
Bumi sedikit bergetar. Ada benda jatuh dari langit. Orang-orang tetap berlalu lalang. Hilir mudik ke kulah tuk wudlu lalu ke masjid sembahyang. Mereka tak hirau sebab cahaya redup separo. Aku tengok kepala sedikit ke belakang. Ada yang meringis di bawah pohon pete.
Aha, sekarang aku ingat, seringai monyet itu mirip cengir kang Jaledeng waktu jatuh dari pohon pete. Haha…
Lalu dengan bahasa apa aku bertutur sapa? Aku hanya ingin tahu, di mana barat arah kiblat? Sungguh, aku ingin sholat…
Kukuk… kakak.. kuk…

(tobe continue)

suhar: catatan santri anyar

ini hutan pertama yang akan kusinggahi. entah di mana kang jaledeng dan kang abdurrahman. mungkin mereka sudah sampai kebanyak tempat. sedang aku baru sampai satu tempat saja. maklum, mencari hutan di indonesia sekarang sulit luar biasa. banyak yang sudah gundul entah ducukur siapa.
kami berpisah dengan damai di ujung sore. saling bertukar cendera mata; bekal masing-masing milik kami.
kubuka bungkusan sarung milik Jaledeng. ini kali pertama aku akan tahu apakah isinya.
1. sarung pudar warna entah putih atau kuning. dan ngeper
2. kaos jupiter ada bolong dua tempat deket leher. warna entah putih entah kuning
3. salep 88
4. sandal selen.
tak ada yang istimewa. 1 dan 2 seperti kebanyakan santri lainnya. 3 juga, ia santri modern, memilih mengobati gasebo-nya (ga-ruk-garuk se-kitar bo-kong) dengan salep dari pada membiarkannya menjadi melodi paling enak ketika digenjreng tangan penggitar. 4? hmmm? ketika berpisah kulihat ia memakai sandal dengan komposisi yang sama. mungkin hmmm... biar tak di ghosob? ah siapa pula yang sudi, toh bagian tumitnya sudah habis tipis.
***
sehabis mandi di sungai hutan tak bernama, kuganti bajuku dengan milik kang Jaledeng. aku kangen ia. santri senior yang menurutku unik. salah satu santri dari sedikit santri yang aku kenal di pesantren. maklum aku memang anyar di pesantren al-ganduli itu. aku tinggal baru tiga hari dan memang cuma tiga hari itu. sebab setelahnya kiai segera mengutusku mencari Mutiara Mahdzuf menemani kang Jaledeng dan kang Abdurrahman.
"sekarang kamu makan baceman daging ini," kata kang Jaledeng serius menatapku tak putus.
"terima kasih, kang,"
segera ku santap saja makanan. ia diam. ada sesuatu yang ditahan. kupilih daging diiris kecil2 itu. ah, kenapa daging di sini berasa aneh dan alot?
kulirik kang Jaledeng. senyum tipis setipis kumisnya yang lele.
kukunyah lebih cepat langsung kutelan saja. sungguh alot. aku berhasil membuat perutku kembung dengan makanan kang Jaledeng. sehabis muntah-muntah di kulah, baru ku sadari, sendal swalow-ku hilang satu. tinggal trampatnya saja.
aha, pelajaran pertama, hati-hati dengan makanan kang Jaledeng.
untung di bungkusan sarung bekal kang jaledeng ini tak ada makanan. aku aman. kini kuayun langkah menuju hutan lebih tengah. hutan tak bernama semakin gelap dan suram. sebab matahari semakin angslup keujung cakrawala.
kucari dimana Mutiara Mahdzuf itu? aku berhenti. melihat monyet mulai memerhati. entah kenapa aku kembali teringat kang Jaledeng ada sesuatu yang mirip. kadang ingatan manusia bercampur dalam rangkaian kaitan terpaksa. apa mungkin aku bertanya padanya? pada monyet itu? aha, mungkin saja toh ia juga punya bahasa. ya bahasa monyet...
(bersambung, insyaallah)

Kisah Burung, Sangkar, dan Pohon

Seekor burung dalam sangkar melihat dengan mata binar
Pohon berdaun hijau lebat bertubuh kekar di samping sangkar
Pikirnya melayang membayang
Berkicau gurau di dahan dan reranting pohon hijau

“Pohon, andai aku bisa bermain
Di hijau daun rimbun tubuhmu
Alangkah bahagia diriku”

Sangkar masih terpekur tak tahu sampai di mana alam pikir burung
Tercecar terpencar
Ia diam, hanya diam
hingga waktu mengajarkan perubahan dan kejutan demi kejutan

“Sangkar, katakan kau sudah tak lagi nyaman
Tiap hari kubuat kau kucakar dan kotor
Sebab kicauku parau sebab tarianku kacau”

Sangkar diam menatap burung
Selama ini bukan ia yang memenjara
Tapi sebaliknya, ia yang terpenjara
Tak mampu ke mana-mana dan tak berbuat apa-apa
Sebab burung terlalu berharga untuk di tinggal begitu saja
Akhirnya diamlah ia di seribu sunyi

“Katakan kau bosan!” pinta burung
Dengan air matanya yang lincah semakin buncah

Oleh sebab sangkar diam saja
Perlahan pintunya terbuka
Paruh burung begitu lincah membius udara
Hingga udara bernyanyi menari
Dan membuat daunan dan reranting pohon ikut bernyanyi menari
tak sengaja turut andil membuka pintu sangkar yang tercekat
oleh dahsyat burung bermusylihat

Perlahan, amat perlahan burung beranjak terbang
Sangkar hanya terpekur takjub
“Bahkan ketika engkau pergi, aku hanya bisa bisu
Tak ada air mata untuk dilinangkan rasa”

Perlahan, dengan amat perlahan
burung menerobos daunan hinggap di ranting dan dahan
Yang sedari kemarin sungguh menarik hatinya
Sebab lebat daunan hijau di tubuhnya
Menjanjikan nyaman di dada

“Kenapa sangkar menangis? Tanya pohon pada burung.
“Sebab ia bosan memenjaraku” jawab burung

Dalam hati pohon berkata sendiri
“Apakah mungkin sangkar menjadi pembosan seperti itu?
Sedang kutahu burung itulah satu-satunya jiwa
yang hidup dalam dirinya

“Aku terbang perlahan, teramat perlahan sebab hancur dan keping
Rasaku meretas satu-satu seperti halnya bulu-bulu
Tercerabut dari tubuhku”
Kembali burung meyakinkan pohon bahwa ialah yang menderita

Pohon, dalam keriput kulit tubuhnya masih merangkai tanda tanya
Hingga suatu saat angin menari gemetar
Sebab nyanyian menyayat berkesiur dari tubuh sangkar

“Aku telah lama terpenjara oleh isi dalam jiwa
Hingga seluruh apa yang dilaku dan berada
Menjadi nyanyian paling indah, tarian paling gemulai, dan kotoran paling wangi
Namun oleh karena keterpesonaanku itulah
Tubuhku lemas tak sengaja rela melepas
Satu-satunya jantung yang berdetak dalam tubuhku
Oh, angin, sampaikan pada pohon
Bahwa setelah hilang burung tersayang
Aku benar-benar menjadi kosong dan mati
Hanyalah sangkar lumpuh yang tak lagi fungsi
Kecuali mengabadikan keindahan masa lalu
Saat kicau masih menggema dalam diriku
Tanpa burung, apalah aku”

Tangisnya tanpa air mata
Pedih kata-katanya tanpa suara

Pohon berhenti bergoyang meski burung
Menari di sela reranting dahan
Ia masih berfikir apa yang harus dilakukan
Agar sangkar, angin, dan burung
Tak perlu lagi mendengar dendang kepedihan
Entah yang palsu entah yang sungguhan

Kotagede, 02 Juni 2009

Ingsun

mbantul, jogjakarta, Indonesia