Wednesday, January 30, 2008

perang saudara

"Ada pesan untuknya, Ni?"
"Satu hal saja, Da. Jika kamu bertemu dengan dia, tataplah dengan matamu seluruh bagian dirinya. Jangan biarkan secuil pun dari tiap inci tubuhnya tak kau rekam. Biarlah selama beberapa detik. Jangan kau berkedip. Sekali lagi, jangan kau berkedip sebelum seluruh dirinya rasuk dalam matamu,"
"Kenapa harus?"
"Dan setelah kau kemari, ijinkan aku menatap matamu, Da,"
"Untuk apa?"
"Yah, hanya begitulah aku dapat meresapi dirinya,"
"Lewat mataku, Ni?"
"Ya! lewat matamu, Da. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk melihat binar mata orang yang mengasihi. Entah kenapa seolah ia begitu jijik melihatku. Buktinya ia tak pernah mau menemui dan menjawab telepon atau smsku,"
"Mungkin karena kamu gendut, Ni, tidak sepertiku,"
"Mungkin. Tapi betapa dangkalnya bukan?,"
"Ya. tapi syah, bukan? Kalo dia memilih diriku yang lebih langsing?"
"Ya. syah. Sangat syah,"
Angin berhembus menembus dinding-dinding bukit meninggalkan Ni dalam sunyi tanpa terpaan cahaya pagi. Mendung itu menggantung di langit matanya yang gersang. Aroma Da sudah jauh tak tercium. Bayangannya hilang di kelokan. Ia akan segeram menemui Za. Menatapnya lekat dan merekam aroma tubuhnya untuk saudara kembarnya, Ni.
Di ufuk pandang, Za tiba-tiba berucap tegas, "Aku menginginkanmu, Da, bukan Ni,"

"Tidak, Za, aku tidak bisa,"
"Berarti keduanya. Selamat tinggal, Da. Aku akan mengembara. Jangan lagi kau pandang aku, karena hanya kebencian yang akan kau abadikan dalam bening matamu,"
***
"Kenapa kebencian yang kau rekam, Da?"
"Itulah yang terjadi, ia menginginkanmu, Ni,"
"Jadi?"
"Ya, begitu juga aku,"
Bermulalah perang saudara. Dan tak ada lagi titipan dalam rekaman mata. Karena, kedua mata sekarang tak bisa lagi berbagi cerita bahagia.

Ksatria Wedus

Pernah mendengar istilah kesatria cahaya? Kalo belum paling tidak sekarang sudah. Dan sayangnya saya tidak akan berbicara tentang ksatria cahaya, tapi saya akan ngomong masalah ksatria wedus. Namun biar ndak penasaran sampena-sampean bisa baca buku ‘Kitab Kesatria Cahaya’ karya Paolo Coelho.
Saya teruskan. Kesatria wedus adalah lek fajar. Dan lek fajar adalah kesatria wedus. Lalu siapa lek fajar itu?
Di suatu desa kecil yang terpencil, ada seorang separuh tua. Umurnya baru 45. Anaknya sembilan orang. Senyum selalu mengulas di atas bibirnya yang pecah-pecah. Peci hitam butut yang warnanya sudah berubah merah selalu nongkrong menutup rambut ubannya yang jarang-jarang. Kesembilan anaknya sudah mentas, artinya sudah pada menikah dan hidup berkeluarga. Dan dialah kesatria wedus itu. Dialah lek fajar.
Lalu apa hebatnya dengan kesatria wedus itu? Ialah guru yang selalu bisa mengatakan bahwa dirinya bukan guru. Apa istimewannya? Toh setiap orang mampu mengatakan hal yang sama.
Guru bukanlah seorang yang mengais murid. Tapi murid datang padanya. Ialah guru yang selalu didatangi murid. Konon muridnya tak hanya manusia, bahkan makhluk lain, alias jin. Yang paling kentara adalah wedus gimbal itu. Tujuh tahun lalu ia datang entah dari mana dan begitu saja mendekam di pelataran rumah lek fajar yang terbuat dari gedek (anyaman bambu). Wedus itu untuk selanjutnya tak bosan menemani ke manapun lek fajar pergi.
Dalam hasanah tasawuf, seorang sufi akan melewati tataran ‘ulfah. Dan pada saat itulah segala makhluk akan nyaman berada di dekatnya. Entah lek fajar mengalami hal itu atau tidak, yang jelas ia selalu diikuti wedus gimbal itu. Lek fajar tak pernah merasa terganggu begitu pula wedus itu. Bahkan seperti sebuah simbiosa mutualisme. Lek fajar naik taraf kehidupan ekonominya, dan wedus itu gemuk dan bersih. Namun siapapun tak akan menyangka kalo lek fajar cukup secara ekonomi. Hidupnya masih seperti yang kemarin, jualan minyak tanah keliling desa. Sepedanya masih sama, sepeda kumbang yang bila dikayuh berbunyi ‘krek krek krek’. Pelanggannya juga sama. Rumahnya juga masih gedek. Tapi itulah berkah; cukup.
Seperti halnya dunia yang tak akan kesepian dengan cerita miring, kasak-kusuk tentang wedus lek fajar itupun berkembang pada arah menuduh. Bahwasannya ia adalah jelmaan jin pesugihan yang menjadi ingon-ingon (peliharaan) lek fajar. Lek fajar bukan menutup mata akan hal itu, tapi cukuplah murid-muridnya yang bicara, bukan bicara sesungguhnya, tapi hal ihwal muridnya. Banyak santri yang tiba-tiba datang. Mereka belajar ngaji. Mereka santun di masyarakat. Dan mereka mampu menerangi wilayah yang sebelumnya suram itu. Kata-kata yang sesungguhnya yang lebih hebat adalah perbuatan bukan? Dan lek fajar menepis isu itu dengan kesalehannya di masyarakat. Bukan menyepi dan sendiri.

Tuesday, January 29, 2008

Ingsun

mbantul, jogjakarta, Indonesia