Monday, December 22, 2008

Wednesday, December 17, 2008

hidup ini

hidup ini main tebak-tebakan
kadang benar kadang tak tepat

bagi yang belum beruntung
alias menebak masih salah

jangan kawatir,
; pasrahkan saja pada sang ahli
menebak benar
lalu minta sedikit bocoran padanya

niscaya, tebakanmu akan benar, kawan...

yuk kita tebak-tebakan lagi...!

(yuuuk...!)


kotagede, 17 des 08

Tuesday, December 9, 2008

menengok

kembali ke tanah moyang
kembali ke keceriaan

setiap pohonan sawo, mangga, rambutan
di rumahrumah
selalu berbuah anakanak
dan orang tua
selalu menyempatkan diri
belajar daripadanya
sebab sekolah belum didirikan
khusus mendidik orang tua

kembali dari kembara
kembali menghirup desa

udara hijau
embun biru
dan matahari selalu menyungging senyum
ada apa di hari esok?
ada kah cinta di sawahsawah?
adakah kicau beburung tak takut peluru pemburu?

ada waktu yang mesti dirembuk
agar desa tak jauh sama
; menyimpan nyaman bagi pohonan berbuah kecariaan
anakanak negeri memetik cita-cita

bantul, 08 des 08

Sunday, November 23, 2008

BERMUSIK UNTUK BERBAHAGIA

Musik adalah keindahan. Penikmatnya menyadari hal itu dan mengambil kesenangan darinya sebagai sebuah hiburan. Bukankah manusia hidup untuk mencapai kebahagiaan?
Musik, apapun bentuknya, adalah harmonisasi bunyi. Sedang bunyi sendiri timbul berasal lebih dari seribu macam sumber. Ada sumber dari alam dan ada sumber dari buatan manusia. Ketika berbagai sumber bunyi menghasilkan bunyi, maka terciptalah nada dan ketika dilakukan bersama-sama, akan membuat komposisi nada yang –entah enak, ataupun tidak- menjadi sebuah pagelaran musik. Seiring perjalanan perkembangan nalar fikir manusia, proses kreatif pun berkembang. Inovasi produk sumber bunyi menghasilkan beragam alat musik modern seperti gitar, drum, biola, dan lain sebagainya. Beriringan dengan itu muncul pula berbagai macam jenis musik yang beragam sebagai hasil inovasi, evolusi, dan bahkan revolusi komposisi bunyi dari berbagai alat musik tersebut. Kemudian musik bukan semata-mata menjadi pemuas hasrat bermusik individual, melainkan komunal dan bahkan merambah ke bukan lagi wilayah rasa, tapi industri.
Lalu idealitas semacam apa yang menjadikan musik diyakini mampu mengusung ideologi tertentu?
Pertanyaan terakhir dapat terjawab dengan menjawab pertanyaan pertama; manusia membutuhkan kebahagiaan.

Tuesday, November 11, 2008

LMCR 2008; terlambat...

Kemarin aku ngirim sebuah cerpen remaja untuk LMCR Rohto 2008. dan dalam pengumuman pemenang nama dan judul cerpenku berada di pojok paling bawah. bukan sebagai pemenang, tetapi peserta favorit. apapun itu aku menghargai keputusan dewan juri. terlabih lagi aku menghargai hasil karyaku sendiri. anda boleh menjadi juri sekarang...


SURAT YANG DATANG TERLAMBAT

Sudah selesai, Den,” mbok Minten meletakkan pulpen dan kertas di sisi meja. Ia telah selesai menuliskan kata-kata pemuda yang tergeletak lemas di atas tempat tidur di sampingnya.

Kemarikan, Mbok!” pinta pemuda itu dengan lirih. Ia menggenggam beberapa lembar surat itu dengan erat. Dari sudut matanya meleleh air mata. Ia tak bisa membendung kesedihan itu. Baginya penderitaannya sudah tuntas. Kini ia hanya bisa tergeletak lemas tak berdaya di atas tempat tidur.

Saya permisi dulu, Den, mau mencuci pakaian,” kata mbok Minah ikut lirih. Matanya ikut berkaca-kaca pula. Namun ia segera berpaling tak ingin kesedihannya tertangkap mata pemuda itu.

Ya, terima kasih, Mbok,” jawab pemuda itu.

Surat itu datang terlambat. Jangankan datang, dituliskannya pun sudah terlalu telat. Perlahan ia buka kembali lembar pertama dan mulai membacanya.

Kepada: Mario

Aku merindukan kamu. Aku merindukan kamu. Sungguh, aku benar-benar merindukan kamu.

Semoga jiwamu setenang air danau sejernih embun di atas daun. Ketenangan batin lebih bermakna dari pada berlian. Hati yang mengendap di dasar kesadaran bahwa kamu masih dikaruniai kesempatan, lebih dahsyat dari pada kesempatan itu sendiri. Yah, Semoga Tuhan bersamamu dalam keadaan apapun. Engkau tahu, pada siapa lagi kita bergantung selain kepada-Nya?

Ah, semoga kamu bisa memaknai kalimat-kalimatku ini. Usiamu memang masih belia. Tapi semoga tak hanya kamu habiskan untuk tidur dan tak menyadari apapun bahwa kamu bisa terjaga dan menyaksikan betapa dunia penuh dengan warna. Aku menyebut begitu bukan tanpa alasan. Karena aku memang pernah mengalami waktu yang kau lewati itu.

Usiaku kini 25. Berarti jarak kita 8 tahun. Tapi tunggu dulu. Jangan buru-buru kau sebut waktu 8 tahun itu lama. Tidak! Sama sekali tidak. Waktu 8 tahun sangatlah singkat. Rasanya seperti menunggu kokok ayam jantan di pagi hari. Sementara di depanmu secangkir kopi, sebungkus rokok, dan teman-teman berbagi hati. Semakin lama asapnya semakin mengepung percakapan-percakapan tak bertema, tiba-tiba malam telah habis.

Begitulah, Mario. Di batas mana pun kita menggenggam usia. Toh kalo kita tak pernah benar-benar terjaga, habislah kita dalam sesal demi sesal yang akan menjerat kita di masa datang.

Nah, untuk itulah aku menulis surat ini untukmu, Mario. Aku tidak ingin kamu sekalipun berhadapan dengan penyesalan. Aku benar-benar tak menginginkannya.

Tangis Mario semakin mendalam. Ia berhenti membaca. Kesedihan itu tak terkata-kata. Ia tengok kanan kiri. Tak ada seorang pun di ruang isolasi itu.

Kamu tahu Mario? Aku sekarang sedang menangis. Ah, kemana harus jadi cengeng seperti ini?

Mario, pernahkah kamu membayangkan sebuah kengerian yang luar biasa? Aku tahu, kamu tak pernah membayangkannya sedikit pun. Aku sungguh tahu siapa dirimu. Yah, meski kadang aku benar-benar tak tahu tentang dirimu. Karena aku tidur. Aku tak terjaga. Aku membuta.

Ah sudahlah. Yang jelas aku tahu bahwa kamu tak pernah sekalipun membayangkan kengerian apapun. Sebagai bukti, kamu tak pernah kuat melihat darah. Seketika kamu melihat acara semacam, jejak kasus, patroli, lacak, investigasi, brutal, dan lain sebagainya yang selalu berbau kengerian di TV, segera saja kamu alihkan ke acara musik atau film. Benar bukan? Ya, aku selalu berkata benar mengenaimu. Dan aku akan berkomentar mengenai kebiasaanmu itu.

Yah kamu punya kebiasaan buruk. Jelek, jahat. Dan egois.

Semenjak kamu bergaul dengan lingkungan yang buruk, engkau berubah. Kamu tahu. Ayah ibu tak pernah mengiyakan segala kenakalanmu. Mereka selalu mencegahmu. Tapi kenapa kamu bandel! Ndableg! Bengal! Nakal!

Sudah saja lah aku bicara mengenaimu. Itu hanya akan membuka memori yang tak pantas dikenang. Sekarang gantian aku yang akan bercerita mengenai diriku saat ini.

Mario, sekarang usiaku 25, Kita terpaut jarak dan waktu selama 8 tahun. Usiamu sungguh usia yang ranum dan segar. Tapi kenapa kamu tak pernah kelihatan ranum dan segar?

Ah sori. Aku tak bermaksud kembali ke permasalahan tentang dirimu. Aku sekarang akan benar-benar bercerita mengenai diriku saja.

Mario, dulu aku tak pernah membayangkan semua ini akan terjadi. Aku benar-benar tak pernah membayangkan. Kamu tak pernah membayangkan kengerian, bukan? Tentu tak akan faham maksudku.

Bahkan kini aku berada dalam kengerian-kengerian yang bertubi-tubi. Seakan dunia yang bermacam warna ini memilihkan satu warna saja untukku. Yaitu warna kelabu. Begitulah nasib diri. Hanya satu warna saja; kengerian.

Sekarang yang bisa aku lakukan hanya berbaring di tempat tidur dan tak bergerak. Makan, minum, dan buang air aku lakukan di tempat yang sama. Di atas tempat tidur. Termasuk ketika aku menulis surat ini.

Engkau jangan salah. Aku bukan benar-benar menulis. Kamu tahu aku tak bisa bergerak. Aku hanya bisa bicara. Ada Mbok Minten di sisiku. Kamu pasti kenal dengan pembantumu yang dulu sering kamu bentak, kamu caci, dan entah apalagi yang membuat sakit hatinya. Kini ia jadi orang paling setia di sisiku. Sementara ayah ibu sesekali saja menjengukku di rumah sakit ini. Engkau kan tahu, mereka sangat sibuk mencari uang untuk aku. Biaya rumah sakit di manapun pastilah mahal. Aku tak menyalahkan mereka. Aku sama sekali tidak menyalahkan mereka. Aku tak ingin menyalahkan siapapun juga, aku hanya ingin menyalahkanmu saja.

Kembali ke aku. Tapi sebelum benar-benar aku mengatakan tentang diriku. Kuharap kamu tak perlu terkejut. Tak perlu menghiba atau apapun. Karena aku sangat tahu. Kau paling benci dengan perasaan iba dan sedih. Yang kamu tahu hanyalah kesenangan dan kesenangan. Aku sangat tahu siapa dirimu.

Mario, aku kena AIDS. Kamu pasti tak kaget, kan? Temen-temenmu banyak yang telah mengalami hal seperti aku. Ada Rho, Manne, Tot, Jud, dan entah sekarang berapa orang lagi yang telah terserang.

Tubuh semakin lama semakin tak berguna. Hanya kesakitan demi kesakitan yang aku rasa. Kebahagiaan adalah masa lalu. Dan yang jelas sekali terasa, masa depan adalah kematian. Masa depan yang sebenarnya selalu kuinginkan datang lebih awal. Tapi aku tak bisa menjemputnya, Mario. Aku sekarang tak bisa apa-apa. Hanya di atas tempat tidur. Hanya di atas tempat tidur. Dan sebenarnya pula, aku tak pernah punya keberanian untuk menjemputnya. Tak pernah punya. Aku takut, Mario. Aku takut pada Tuhan. Aku tak ingin sisa kesempatan dari Tuhan ini, kuabaikan seperti engkau telah mengabaikan-Nya dulu.

Ah, kenapa baru sekarang aku mengenal Tuhan? Kenapa mario?

Yang jelas ini terjadi karena kamu, Mario. Ini semua terjadi karena kecerobohanmu. Karena ketololanmu. Karena kesalahanmu memaknai masa remaja masa ketika jiwamu menggelora. Semua karena kesalahanmu. Aku mengutukmu, Mario. Aku mengutukmu!

Seandainya dulu kamu tak pernah mencoba narkoba. Seandainya dulu kamu tak pernah mengagungkan sex bebas. Seandainya dulu kamu tak pernah memakai ganja, seandainya dulu kamu tak pernah berbuat yang hanya akan merusakkan dirimu sendiri, niscaya aku tak akan sekarat setiap saat seperti ini, Mario.

Mario! Aku menyesal mengenalmu. Aku benar-benar menyesal!

Aku tahu, dulu engkau enggan memakai narkoba atau pesta sex dengan teman-temanmu, angkau hanya ingin minum saja. Tapi ternyata di situlah awal segala petaka. Dengan minum minuman keras, akal sehat jadi hilang. Setelahnya semua jadi tak ternalar. Dalam kondisi mabuk, semua bisa terjadi tanpa disadari, diam-diam teman-temanmu menyuntikkan obat terlarang ke tubuhmu. Lalu ketika disodori tubuh perempuan malam yang diboking temanmu dipinggir jalan, engkau tak lagi jijik maupun enggan. Dan semua keburukan segera mudah terjadi. Semua menjadi tak terkendali..

Kenapa dulu kamu tak pernah mengenal peraturan? Kenapa dulu kamu tak pernah mau tahu nasehat ibu bapak? Bahwa pergaulanmu perlu dibatasi. Kenapa kamu dulu tak pernah mengenal agama? Bahwa barang-barang yang kau konsumsi dan perbuatan-perbuatan yang kau lakukan adalah haram. Kenapa?

Aku tahu karena kamu hidup menggunakan otak. Dan seluruh otakmu dipenuhi dengan kesenangan demi kesenangan.

Aku tahu siapa dirimu. Aku benar-benar tahu siapa kamu.

Ah sudahlah. Aku bosan mengutuk. Aku benci memikirkanmu. Toh kamu tak akan pernah merasa dipikirkan. Toh kamu hanyalah masa lalu. Kamu hanyalah orang bebal yang hidup di delapan tahun yang lalu. Dan kamu hanyalah pecundang di delapan tahun kemudian. Saat ini. Di atas tempat tidur. Makan dan minum lewat selang infus yang memuakkan.

Aku muaak! Muak padamu Mario! Benar-benar muak.

Mario menghempaskan surat itu di sisinya. Nafasnya tersengal. Namun tak berapa lama ia mengambilnya kembali dan mulai membaca lagi.

Baru saja aku selesai menagis Mario. Menangisi dirimu. Menangisi diriku menangisi diri kita. Menangisi tangisan. Yang ternyata nikmat dirasakan untuk melarung penyesalan.

Mario, aku kira cukup sampai di sini saja. Seandainya aku dapat kembali, Mario. Aku memilih tak pernah menjadi engkau. Dan tak pernah mengenal narkoba, free sex, ganja, alkohol, dan segala macam kesenangan sia-sia. Aku akan menggunakan kesempatan itu dengan berbuat kebaikan setiap saat dan tempat. Aku janji.

Tapi aku tahu. Itu semua tak pernah mungkin. Kembali ke masa lalu hanya bisa terwujud dalam film. Lain tidak. Jadi lebih baik kini kukaji sendiri diri yang tergeletak sepi di atas tempat tidur. Bukan untuk mendengkur. Tapi untuk berfikir dan mulai menanam semangat dan keyakinan, bahwa aku masih punya kesempatan.

Mario, sekian saja suratku. Aku sadar, surat ini tak mungkin sampai padamu, padaku di delapan tahun yang lalu. Jadi biar kusimpan surat ini untuk dirimu delapan tahun ke depan. Untuk diriku di saat sekarang.

Di atas tempat tidur ini, aku hanya bisa berdoa, semoga Tuhan masih tetap Maha Pengampun dan Maha Pemberi Kesempatan. Amien.

Di atas tempat tidur

8 tahun semenjak aku berusia 17 tahun,

Mario

Mario mendekap surat itu. Ia mengusap air matanya. Tubuhnya tak bisa bergerak namun perlahan matanya bangkit. Bibirnya menyungging senyum. Ia telah menyesali sebagian hidupnya yang buruk namun ia sadar bahwa penyesalan berlarut hanya akan semakin membuat deritanya penuh sesak di dalam dada.

Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi, aku hanya bisa berdoa sepanjang hari dan tentu menyambut mbok Minten dengan senyuman paling tulus setiap hari. Ah, semoga ia menerima hal ini,”


Kotagede, 2008

Friday, September 26, 2008

idul fitri...

wulan poso wis meh rampung...
mugo-mugo kito sedoyo termasuk tiang ingkang
angsal derajat muttaqin...
amien ya mujiibassailiin...

seluruh kru sorogan mengucapkan:
selamat hari raya idul fitri...
mohon maaf lahir bathin...

Wednesday, September 17, 2008

'itqu minan-naar

sepuluh terakhir ramadhan, adalah hari-hari penuh tanpa api neraka. barang siapa ikhlas dan taqwa, maka api neraka enggan bertemu muka.
jangan dulu berbangga, sebab apakah siksanya tidak kan terasa?
sungguh, surga neraka dan sesiapa kelak menetap di dalamnya hanyalah rahasia Dia semata.
"betul tak?" tanya Upin.
"betul-betul-betul-betul-betul," jawab Ipin sambil makan ayam goreng kesukaannya.

Tuesday, September 9, 2008

nabi-nabi II

nuh merinai mata
disebab kan-an si anak durhaka

ibrahim berkalung hiba
dikarena azar si ayah pemberhala

musa dikerubut srigala
berjibun dalam hati saudara

isa direnggut kehambaannya
dipertuhankan masa

muhammad merasa bukan sesiapa
hingga akhir kerena cahaya
maka terang pasti sampai mata

kotagede, 09 sept 08

Saturday, September 6, 2008

Friday, September 5, 2008

ibadah dobel

siang yang gerah. dan tentu saja haus. sebab ia sedang puasa, namanya pak dhe. jangan salah, ia belum jadi bapak-bapak. dia juga tidak ada hubungan keluarga dengan saya. tapi hubungan teman iya.
sehabis ngaji kitab di masjid ia datang pada saya di kamar saya dengan wajah ceria.
"aku barusan dapat pahala dobel," katanya bersemangat.
saya diam saja menunggu kelanjutan ceritanya. biasanya orang dengan muka cerah seperti ini tak perlu di tanya akan dengan senang hati menjelaskan. saya hanya mengerutkan dahi tanda penasaran.
"sebab aku tadi tidur waktu ngaji,"
kembali saya mengerutkan dahi.
"iya, sebab tidurnya orang puasa itu ibadah,"
untuk kesekian kalinya dahi saya berkerut.
"iya, sebab ngaji itu ibadah jadi aku dapat satu pahala. lalu ditambah aku tidur dapat satu pahala, jadi sekali merengkuh bantal dua pahala tergenggam tangan,"
dia merenges puas. dan perlahan saya saksikan dengan dahi berkerut, dalam waktu sekejap ia tidur lagi dengan kitab terbuka di depannya
berarti ia sekarang dapat empat... ckckck....

Tuesday, September 2, 2008

malam sastra 1000 bulan

habis tarwih, tanggal 21 september 2008 di TBY
ada acara yang sayang kalau dilewatkan
'malam 1000 bulan'
dalam acara ini akan membaca puisi 6 penyair dan 1 cerpenis.
diantaranya adalah zaki zarung...
mampirlah teman-teman...

Tuesday, August 26, 2008

marhaban ya ramadhan

lirik & syair : zaki zarung
arr: joni adi fitra

bulan ramadhan sebentar lagi tiba
kita sambut dengan gembira
membasuh jiwa sucikan hati
kita langkah menuju fitri

chorus:
persiapkan diri
gapai ridlo ilahi

bulan ramadhan sebentar lagi tiba
kita sambut dengan gembira
membasuh jiwa sucikan hati
kita langkah menuju fitri


reff:
marhaban ya ramadhan
marhaban ya ramadhan
marhaban ya ramadhan
marhaban
2 x

persiapkan diri
menuju fitri


(pertama kali dipentaskan di pendopo LKiS Sorowajan dua tahun lalu)

Saturday, August 23, 2008

bohong...


sore...

Sore yang agak mendung. Salon yang agak sepi. Dan tukang cukur yang agak bingung dengan permintaanku.
”Plontos?” mukanya mengkerut.
”Ya, dihabisin saja,” kataku dengan serius.
”Yang bener, Mas?”
“Ya, beneran,”
“berarti gundul?”
“terserah, yang penting habis rambutnya,”
”tapi,...”
”apa? Jelek, ya?”
”emm...,”
“ok, saya minta cukur patah hati,”
“o….,”
Tukang cukur itu tidak lagi bertanya padaku. Dengan alatnya yang berdesing ia mulai menghabisi. Rupanya perlu kebohongan untuk meyakinkan orang.

Monday, August 18, 2008

merdeka itu...

merdeka itu
; kangen,
pada impian-impian besar
pada kerja keras mewujudkan
pada karya-karya besar yang tak mengenal
perhentian

maka, bangun adalah
; jiwanya, badannya*)


(WR Soepratman, Indonesia Raya)

Sunday, August 10, 2008

mengerti

kenapa tiba-tiba kita; saya, ataupun kamu atau siapa saja tiba-tiba sangat benci dengan orang lain?
jawabannya hanya satu:
karena kita bukan yang kita benci
(bahkan ketika kita benci dengan diri sendiri
pada saat itu kita bukan diri kita)

Friday, August 8, 2008

phobia

kejadian ini berlangsung ketika saya main di tempat kos teman saya. sehabis adzan maghrib tiba-tiba teman saya mengerutkan dahi sambil kita berkata, "ah, suara orang ngaji quran di masjid sebelah itu buruk sekali, dengarlah, mana ada tajwid yang tak salah?"
di sebelah tempat kos teman saya itu memang ada sebuah masjid yang mengalunkan suara orang menderas quran. sekali dua dan seterusnya memang banyak yang melenceng dari aturan tajwid. kebetulan saya sedikit tahu tentang ilmu tajwid. dulu sewaktu di TPA saya suka pelajaran itu.
dan tentu saja teman saya tadi lebih jago dalam bidang ini. dia kan jebolan pondok pesantren. pernah mesantren selama lebih dari 4 tahun.
dan setelah kejadian itu ia berkali-kali mengeluh dengan suara yang berkali-kali harus ia dengarkan tiap habis adzan maghrib menunggu iqomah.
saya diam saja sambil terus menonton TV yang sedari tadi kami tonton. berita sore tentang keistimewaan tanggan 08 bulan 08 tahun 08. bagi saya kok sama saja.
dari masjid saya dengan imam mengalunkan ayat demi ayat. saya masih nonton TV. dan teman saya masih saja menggerutu tentang tajwid yang salah itu.
karena saya bosen mendengar keluh kesahnya yang njelehi itu, saya nyeletuk sekenanya saja
"itu nyindir kamu supaya mau baca quran di masjid!"
dalam pikirku, kalo yang bisa baca baik tidak melakukan, maka yang tak bisalah yang keluar. jadinya runyam.
tapi tiba-tiba dia membalas, "aku juga nyindir kamu, biar kamu mendengar orang baca quran, ga cuma nonton TV,"
rupanya kita sama-sama tersindir...
parahnya, habis itu kita tetap nonton TV bukan segera jamaah maghrib...

Wednesday, August 6, 2008

Tuesday, July 29, 2008

bulan juli

yup,
ini bulan juli
bukan bulan selain juli

kenapa berbicara tentang bulan juli
karena ada bulan juli

apa istimewanya bulan juli?
bukan 12 bulan jika tanpa bulan juli

yup,
kita di bulan juli
bulan dimana akan lebih buruk dari bulan selain juli
atau akan sama saja
atau akan ada yang istimewa?

yup,
bulan juli...
padanya kulebur sulan selain juli
untuk tidak ada bulan lain selain bulan juli

bimokurdo, 30 Juli 08

Monday, June 23, 2008

habis isya

daunan depan rumah mimpimu jatuh
satu-satu
rembulan di ujung sepi
menatap usiamu yang tertatih

perlahan kau berhenti
menodongkan belati
di leher sang waktu

"enyahlah kekalahan,
dan air mata,
aku hanya meminjam sedikit kesempatan
hanya untuk aerobik saja, kok,"

malam luruh di atas kertas kosong
ada bingkai kantuk menjerat kata-kata

"adakah sayap paling kuat
aku ingin terbang memetik katakata
di reranting pohon pikiran
malam ini juga,"

daun depan rumah mimpi kering
seperti itulah lidah sang waktu
tak ada jawab bagi kemalasan
kecuali pedang menghunus kepedihan

tak ada aerobik
tak ada sayap tuk meraih petik
tak ada...

pohon depan rumah mimpi tumbang
daunan lebat, rimbun dan penuh daging
telah merupa kenyataan
pedang sang waktu telah menebas jerat kantuk
dan kecut keberanian tuk tegakkan badan

Tuesday, June 17, 2008

bungaku: percakapan selesai maghrib

sekuntum bunga rebak di tatapmu
merangkai petualangan indah
tak bosanbosan
aku terbunuh nyaman dan diam

di bibirmu rekah gelombang masalah
sirna saat kau lepas sepesona tawa

sudahlah, kekasih!
yakinlah sepenuh tubuh
seluruh dunia akan luruh
mencair dan dengan sesuka cita
memenuhi kantung-kantung harapmu
tentang kebahagiaan

dan aku, akan merangkai bunga
kusematkan di alis mata

Sunday, June 1, 2008

i am

not about who am i
not about what am i
but about your quetions
that without your mouth

that i am nobody
that i am somebody
that not in my mind
only

i am just everybody...

Wednesday, March 26, 2008

- BENDERA -
sebuah naskah surealis

Setting: tempat upacara
Pemain: Protokol, Inspektur, Ajudan Kanan, Ajudan Kiri, Komandan, Pengibar Tngah, Pengibar Kanan, Pengibar Kiri

Komandan : (masuk ke tengah panggung) Istirahat di tempat, grak!
Protokol : Inspektur upacara memasuki tempat upacara
Komandan : siap grak!
Inspektur : (memasuki tempat upacara dikawal dua orang Ajudan. Lalu berdiri di atas podium. Badannya bongkok kelebihan lemak di perut. Ia tak lagi bisa berdiri dengan tegak. Tidak ada yang bisa melupakan senyum khas Tuan Inspektur.)
Komandan : kepada, inspektur upacara, hormat senjata, grak!
Instruktur : (membalas hormat)
Komandan : Tegak senjata, grak!
Protokol : Pengibaran sang merah putih, hadirin dimohon berdiri.
P. Tengah : (menyiapkan tim) Siap, grak! Lencang kanan-kiri, grak! Tegak, grak! Maju… jalan! (Pengibar bendera berbaris rapi menuju tiang bendera.)
P. Tengah : Berhenti, grak! (berhenti tepat beberapa langkah di depan tiang bendera.) siap, grak! Lencang kanan-kiri, grak! Tegak, grak! Maju satu langkah ke depan, jalan! Hadap kanan-kiri, grak!
P. Kanan : (membuka tali dan memasangkan bendera)
Protokol : (masuk ke panggung. Para pemain lain mematung) Hari ini adalah ulang tahun kemerdekaan Negeri Merah Putih yang ke satu juta. Untuk itu perlu adanya rutinitas kenegaraan berupa upacara bendera. Betapa banyak sudah darah yang tumpah. Harta benda jadi musnah dikeruk penjajah. Harga diri hilang digasak atau tiba-tiba dengan sendirinya jadi rebah. Arwah para pejuang turut menyaksikan upacara ini dengan isak tangis kenangan. Ada yang mengenang masa perlawanan, tapi lebih banyak yang menangis karena menyaksikan penerus mereka yang kini tak bisa lagi membedakan arti penjajah, dijajah, dan terjajah. Semuanya kabur seperti halnya pagi ini ketika semua tiba-tiba menjadi kabur.
Pada saat pertama, para hadirin semua pada melongo. Pada saat kedua mereka sama-sama menutup mulut dengan kedua tangan. Pada saat ketiga, ributlah mereka seperti gemuruh tawon yang menyusun rumah. Arwah para pejuang hening. Mereka teringat jaman dahulu ketika pengorbanan itu bertujuan satu; menegakkan sang merah putih di atas tanah air ini. Betapa besar korban yang harus dijatuhkan demi untuk merah dan putih, namun pada hari ini entah mengapa tiba-tiba seperti ada pengejekan luar biasa pada diri mereka; arwah para pejuang. Bendera yang semula akan dikibarkan, entah kenapa begitu dibuka….
P. Kanan : (membuka bendera. Warnanya putih semua. Kaget. Lalu pingsan. Pengibar yang lain diam bingung.)
Inspektur : (matanya melotot. marah) mana warna merahnya? Cepat ganti bendera! Memalukan!
Ajudan Kanan: (meraih HT-nya. menghubungi protokol.) tenangkan keadaan!
Protokol : (menganggkat HT. mengangguk-angguk. Gugup. Bingung.) Hadirin dimohon tetap tenang.
Komandan : (Secepat kilat menyerahkan bendera pengganti pada petugas pengibar bendera. Sebelumnya membangunkan dari pingsannya.)
P. Kanan : (mulai memasang bendera dan membuka lagi. Putih-putih)
Protokol : Lagi-lagi bendera kehilangan warna merahnya. Kedua kalinya Inspektur marah. Dicarilah bendera yang berwarna merah dan putih di seluruh Negeri Merah Putih. Tapi sayang, seluruh bendera tinggal warna putihnya. Tuan Inspektur berang.
Inspektur : (bilang pada ajudan kiri) ajudan, bilang pada Pejabat Urusan Dalam Negeri, dengan bagaimanapun caranya, cari kain merah putih, pokoknya berwarna merah putih, cepat!
Ajudan kiri : (berlari keluar panggung dan masuk ke panggung lagi) Maaf, tuan inspektur, kata Pejabat Urusan Dalam Negeri, seluruh warna bernama merah telah lenyap dari muka bumi Negeri Merah Putih.
Inspektur : Goblok! (mukanya merah. Ia pukul-pukul kepalanya sendiri.)
Kedua Ajudan: (mencoba mencegahnya.)
Inspektur : Ajudan, instruksikan pada Pejabat Urusan Luar Negeri untuk mencari merah putih di luar negeri!
Ajudan kanan : maaf tuan, barusan Pejabat Urusan luar negeri sms, (menunjukkan sms) seluruh negeri di dunia tak lagi punya warna merah.
Inspektur : Goblok! Goblok! Goblok!
Ajudan Kiri : ada sms dari Pejabat Urusan Kehewanan, katanya ia punya ide untuk menyembelih hewan dan mengumpulkan darahnya untuk dijadikan pewarna merah. Bagaimana tuan?
Inspektur : Ok! Cepat laksanakan, goblok!
Protokol : Tanpa pertimbangan apa-apa, disetujuilah ide itu dan dengan segera Pejabat Urusan Dalam Negeri memberi instruksi untuk menyembelih beberapa kambing. Darah merah memang mengucur, tapi setelah itu yang ada hanya kesia-siaan, darah itu mengental dan berubah menjadi hitam. Tak kehilangan akal, disembelihlah hewan-hewan lain, mulai dari nyamuk, ikan, buaya, ular, komodo, jerapah, macan dan segala macam hewan yang hidup di seluruh Negeri Merah Putih. Dan nol hasilnya. Darah akan segera kering dan berubah menjadi hitam. Tak lagi ia bisa dicairkan dan digunakan. Padahal, seluruh hewan telah habis disembelih oleh Pejabat kehewanan.
Inspektur : Kita adakan sidang terbatas.
Protokol : Digelarlah sidang istimewa mendadak di ruang khusus. Dalam kondisi serba sulit seperti ini, bak pahlawan kesiangan, Pejabat Urusan Kesehatan muncul dengan idenya menggunakan darah manusia.
(divisualkan dalam bentuk film dalam layar projektor)
Pejabat urusan kemanusiaan: “Gila, mau menyembelih manusia?”
Pejabat Urusan Kebudayaan dan Pejabat Urusan Keagamaan: “Tak bisa dilanjutkan,”
Pejabat urusan kemanusiaan: “Maksud saya, kita bukan menyembelih manusia, tapi sekedar menggunakan darahnya, kita ambil darahnya saja. Perintahkan agar setiap manusia yang mempunyai darah merah mendonorkan darahnya untuk kepentingan merah putih. Yang darah putih dan biru seperti kita ini tidak perlu,”
Inspektur : Setuju! (terdengar suaranya saja)
Protokol : lalu, dicarilah darah merah. Dan karena persediaan darah merah di rumah sakit, maupun Palang Merah Merah Putih (PMMP) habis, akhirnya wajib donor pun dilakukan. Seluruh rakyat yang berdarah merah antri di puskesmas, rumah sakit, Palang Merah Merah Putih (PMMP) maupun tempat-tempat yang khusus untuk mendonorkan darahnya. Sedangkan rakyat yang berdarah biru boleh menjadi penonton. Walhasil, nihil. Darah rakyat itu telah menjadi putih. Terlalu sering mereka wajib donor, dan sisanya hanyalah dalah putih. Kebutuhan gisi sehabis donor tak ada yang memperhatikan.
Frustasi, depresi, dan stres. Para pejabat Negeri Merah Putih sedang mengalami titik jenuh keputusasaan. Negeri Merah putih adalah negara mereka. Jika warna merah hilang, maka hancurlah negara. Mereka menatap meja pertemuan dengan kekosongan, masih ingat ketika mereka mendengar penjelasan dari guru sejarah, bahwa pengorbanan para pahlawan kemerdekaan sangatlah tak terbayarkan demi warna merah berani dan putih suci. Para pahlawan sangat faham bahwa hanya dengan keberanian menjadi bangsa dan kesucian hati berilahilah bangsa dapat berkibar di angkasa. Teori itu mereka hafal di luar kepala. Karena sewaktu tes masuk anggota kepejabatan, hal itu diujikan secara lisan maupun tulis. Untuk ujian praktek sengaja ditiadakan karena pasti semua akan gugur.
Meja itu kosong, seperti tatapan mereka. Bukan pada saat itu saja namun telah begitu sejak generasi pendahulu mereka. Sepetinya semua pintu menuju titik terang telah tertutup. Sidang pejabat terbatas tersebut mengalami kebuntuan.
(film)
Pejabat urusan kemanusiaan:
“Bagaimana dengan kita? Apakah kita perlu mendonorkan darah kita? Siapa tahu darah kita berwarna merah?”
Pejabat Urusan Kebudayaan: “Itu terserah kalian, tapi secara pribadi saya menolak, wong saya itu harus cuci darah sehari sekali kok diminta donor. Ya matek saya,”
Pejabat Urusan Keagamaan: “Benar, meski saya tahu, tadi pagi gusi saya berdarah dan darahnya berwarna merah, tapi saya enggan mendonor. Kondisi saya sama dengan anda-anda sekalian, harus cuci darah sehari sekali,”
Diputuskanlah para pejabat itu tak mendonorkan darahnya meski diketahui warna darah mereka merah. Dan ditambah lagi bahwa perlu diumumkan bahwa darah mereka biru.
Inspektur : Lalu kita harus bagaimana?
Protokol : Tuan Inspektur benar-benar ciut nyalinya. Pejabat Urusan Kriminalitas tiba-tiba mengacungkan tangan. Mukanya cerah. Sepertinya ia punya ide brillian.
(film)
Pejabat Urusan Kriminalitas:
“Kemarin saya meninjau daerah konflik. Dan saya masih melihat darah segar di sana terbuang sia-sia. Mungkin inilah saatnya kita membuatnya jadi berguna,”
Inspektur: Tolong lebih diperjelas!
Pejabat Urusan Kriminalitas: “Jadi kita kobarkan lagi semangat peperangan saudara di antara meraka dan tunggu saat mereka mencecerkan darah lawan. Lalu kita kumpulkan darah itu, bagaimana?”
Pejabat Urusan Kemanusiaan: “Apa tidak ada cara yang lebih manusiawi?”
Protokol : Semua hanya geleng-geleng kepala. Tak lama kemudian. Keputusan telah bulat. Pembantaian di Negeri Merah Putih telah menjadi seperti wabah penyakit. Cepat menular. Pertikaian di mana-mana. Pembunuhan terjadi di setiap kesempatan. Semua pegang golok, pedang, keris, pistol, senapan, garpu, sendok, silet maupun senjata yang segera dapat mengucurkan darah segar. Sudah ada penadah untuk darah-darah itu. Dan seperti kebiasaan perdagangan, para penadah itulah yang menikmati untung paling besar. Setelah darah-darah itu terkumpul berbarel-berel, barulah diusung ke ibu kota.
Inspektur : Apa? Tak bisa di cairkan lagi? (suaranya saja)
Ajudan : Tak bisa Tuan, darah yang kering itu sudah tak berguna lagi. (suaranya saja)
Protokol : Padahal sudah jutaan penduduk negeri merah putih dikorbankan untuk mengumpulkan darahnya, tapi lagi-lagi. Nol besar. Darah itu terbuang lebih sia-sia lagi. Hanya lalat yang kini memanfaatkannya.
Di saat seperti inilah dibutuhkan peri penolong yang akan menjumput tangan-tangan terkapar dan menitahnya ke alam pencerahan. Muncullah diplomat dari Negeri Warna-Warni yang datang menawarkan cahaya.
Diplomat Negeri Warna-Warni : Jadi kondisinya seperti demikian.
Inspektur : Apa tidak bisa diturunkan lagi?
Diplomat Negeri Warna-Warni : “Tidak, itu harga yang harus kalian bayar untuk sebuah kebesaran Negeri Merah Putih,”
Inspektur : Ok, aku setuju (masuk panggung bareng ajudan)
Protokol : Tanpa minta pendapat lagi, Tuan Inspektur menyetujui harga untuk warna merah dari diplomat Negeri Warna-Warni. Bersoraklah seluruh warga negeri, akhirnya upacara segera bisa dilanjutkan meski hanya dihadiri para pejabat saja. Karena seluruh rakyat sudah habis saling bantai untuk proyek darah yang sia-sia itu. Pengibaran sang merah putih, hadirin dimohon berdiri.
Komandan : (membawa bendera merah putih dan menyerahkannya pada pengibar bendera)
P. Kanan : (menali dan siap) bendera siap!
Komandan : kepada sang merah putih, hormat senjata… grak!
Semua :
(bernyanyi)
Hiduplah negri merah putih,
Merah putih, tanah airku tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku
Merah putih kebangsaanku, bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru merah putih bersatu
Dst…
Protokol : Dikibarkanlah sang merah putih dengan perkasa dan dada membusung para pejabat. Bibir mereka pada waktu itu merekah. Tapi entah bagaimana, wajah mereka murung dan kusut. Seperti tak ada harapan. Bendera terus saja merangkak naik. Angin tiba-tiba kencang menerpa. Bendera melambai-lambaikan tangannya. Bukan, ia bukan merayakan pengibarannya tapi seolah minta tolong dan melolong. Tangan-tangannya menggapai-gapai. Ia ingin lepas dari tali kekangnya. Dan sampailah pada pertengahan tiang, ia berhasil meloloskan diri dan terbang bersama angin tornado yang memporandakan negeri itu. Arwah para pejuang yang menolong dan membawanya lari. Ia kini melayang bersama arwah para pejuang dan kembali ke masa lalu.
Suara : Priiit…! (suara peluit. Suara tank tempur. Suara penyerbuan)
Suara : perhatian-perhatian, sekarang batas akhir pembayaran warna merah, untuk itu silahkan seluruh penduduk negeri merah putih meninggalkan tanah dan airnya karena segara akan diambil alih oleh negri warna warni…
(para pemain meninggalkan panggung seperti orang terusir)
Protokol : Tepat seperti kesepakatan, pada saat bendera berada di setengah tiangnya, Negeri Warna-Warni berhak penuh atas seluruh tanah dan seluruh air yang berada di Negeri Merah Putih sebagai bayaran atas warna merah yang mereka berikan. Ya, sebagai bayaran atas kesepakatan Sidang Pejabat Terbatas. Untung makhluk yang ada di Negeri Merah Putih telah musnah, kalo tidak, mereka akan begitu kebingungan mencari tempat tinggal dan sumber pangan. Tinggal para pejabatnya saja yang hidup, dan mereka harus membayar dobel, pertama, membayar uang sewa tanah dan air. Kedua, uang cuci darah. Dan ketiga, uang pemakaman untuk harga diri mereka.
Hei semua pada bangun! (semua pemain bangun dari tidur) waktu untuk mimpi buruk sudah habis! sekarang waktunya upacara bendera!
(pengibar bendera menuju tiang bendera bersiap mengibarkan bendera merah putih)
pengibar: bendera siap!
Komandan: Kepada sang merah putih, hormat senjata, Grak!
Seluruh pemain : (dilagukan) hiduplah indonesia raya… (sampai rampung)

Tamat
Kotagede, 100807-250308

Wednesday, March 5, 2008

mesti

semestinya semua itu tidak mesti/ tetapi kenapa kemestian itu ada?/ yang memestikan hanyalah perasaan/ dan dari mana perasaan?/ ah, kayak tidak tahu saja/ ya dari dulu donk!/ jadi tolong, jangan pernah tanyakan/ apa yang semestinya/ sebab pertanyaan mesti dijawab/ dan jawaban mesti hanya ada satu kemestian/ yaitu mesti benar// engkau akan mengatakan tidak/ sebab; kebenaran yang mesti/ tidak pernah mencapai mutlak//

05 Maret 08

Tuesday, February 26, 2008

Amanat

Sebagai abahnya aku sangat mengerti kondisi batinnya. Aku sangat tahu Nila itu seperti apa. Si kecil di pangkuanku yang kini harus kembali ke pangkuan. Dibelai dan ditunjukkan bagaimana cara mengusap ingus. Ia harus segera menikah. Meski bisa dipastikan ia tak akan mau jika aku hanya sekedar menawari. Harus ada sedikit paksaan agar ia benar-benar mau. Menikah baginya tentu teramat berat. Apalagi ia kadung menyerahkan ruhnya pada almaghfurlah kyai Abas. Padahal sebenarnya ia belum tahu sepenuhnya siapa kyai agung Abas itu.
------------
Aku benar-benar tak akan menikah lagi. Ini keputusan final. Pada setiap kesempatan aku bertemu sanak kenalan, santri-santri senior, alumnus, bahkan para kyai sepuh. Aku selalu menyatakan tidak untuk menikah lagi. Bagaimana mau menikah, almaghfurlah hampir setiap hari masih menemani dalam mimpi-mimpiku. Menjadi pembimbing bagi ruhku. Belum lagi bagaimana aku harus menjelaskan pada Nashir, putra pewaris tahta. Meski beban yang harus ku tanggung begitu berat. Walau dukungan Abah untuk menikah lagi setiap saat aku pulang selalu meningkat bahkan hampir pada tahap mendesak. Keputusan final adalah: tidak.
------------
Ibu masih terus menghubungiku. Dan aku tak biasa memberikan apa-apa kecuali sekedar selalu berpesan agar ibu sering-sering ziarah ke makam bapak. Aku tahu siapa kakek. Terkadang, bahkan sering, ia tiba-tiba membuat keputusan yang tak masuk di akal. Dan kadang, bahkan sering pula, hikmahnya baru datang belakangan. Setelah terjadi gejolak, barulah badai laut pun jadi setenang danau. Tapi untuk mendukung atau menolak perjodohan itu, aku sebagai anaknya tak bisa apa-apa. Meski ketika kukedepankan emosi, aku tetap tegas menyatakan: tak rela.
----------------
“Boyong! Pokoknya kalo sampai Ibu Nyai Nila nikah lagi aku akan boyong.”
“Sama Kang Tohir. Aku juga,”
“Aku tak kuasa melihat orang lain di samping Bu Nyai Nila kecuali Kyai Abas. Aku tak rela,”
“Sama Kang Tohir, aku juga tak rela. Apalagi calonnya lebih muda dari kita. Masak manggilnya Dek Kyai,”
“Sebagai santri senior, yang sudah kepincut dengan Kyai Abas, aku tak mungkin pindah ke lain hati. Sekali Kyai Abas, tetap beliaulah guruku, bukan yang laen,”
“Sama, Kang Toh…”
“Sama, sama… ndak kreatif kamu, Jo, Tejo…!”
“Sama, Kang,”
“Husss…”
---------------
Aku bisa merasakan gejolak dalam diri para santriku. Apalagi yang sudah senior-senior seperti Tohir, Sugi, Tejo dan lainnya . Aku tahu bahwa kyai, guru, dan bahkan bapak mereka adalah Mas Abas. Dan sebenarnya aku pun begitu. Belum lagi janjiku pada mereka bahwa aku benar-benar tak punya keinginan untuk tazawwuj lagi. Pada saat-saat tertentu kadang aku berpesan agar mereka mengingatkan aku jika suatu saat aku teledor dan memutuskan menikah lagi. Tapi untuk keputusan ini aku tak main-main. Ini memang bener-benar keinginanku. Kemauanku untuk bersuami lagi.
--------------------
Kalo tidak dipaksa demikian, Nila tak mungkin mau. Tangan besi bukan berarti membunuh. Tapi ketegasan yang lebih baik. Sebenarnya aku tak begitu tega ketika mengacuhkannya seperti beberapa bulan kemarin. Aku telah membuatnya asing di rumahnya sendiri. Setiap pulang ke sini ia selalu kubiarkan teronggok seperti angin. Hampa dan tiada. Sepertinya ia tambah menderita saja. Namun merusak urusan kecil demi menyelamatkan yang lebih besar adalah jalan yang lebih tepat. Dari pada terus menerus aku selalu mendapati dirinya berkesah tentang keadaannya yang ringkih sepeninggal Abas. Ngasuh pesantren dengan ratusan santri yang tidaklah mudah. Apalagi sendiri tanpa kekasih yang bisa diajak berkesah. Siapapun akan segera rapuh. Dan bagi seorang perempuan di dunia laki-laki ini, fitnah tentu akan mudah dihembuskan. Apalagi ia tinggal di rumah itu sendiri tanpa putra. Nashir, putra satu-satunya, masih harus di kudus merampungkan qurannya. Ia tentu akan baik-baik saja di sana. Aku akan menanganinya.
----------------------
Aku tak bisa apa-apa. Toh aku bukan benar-benar darah dagingnya. Meski seharusnya akulah yang akan menjadi pengasuh setelah rampung quranku di kudus ini, aku tetap tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan kalau boleh jujur, sebenarnya aku rela-rela saja jika kepengasuhanku diambil alih. Menjadi kyai tak semudah menjadi pejabat. Jika laknat Tuhan sendiri yang turun tangan lewat bencana dengan menjadikan umatnya semakin bejat. Dan aku bukan apa-apa dibanding Almarhum Bapak, kyai alim alamah Abas Abdullah. Beliau terlalu arif, bijak, dan cerdas luar biasa. Kiranya aku tak pantas menggantikan posisi beliau. Apalagi aku telah punya Tiara.
---------------------
“Lalu wasiat itu bagaimana, Kang Tohir?”
“Kita harus mengiringnya. Aku termasuk salah satu yang jadi saksi waktu itu, dan salah satu bunyi wasiat itu adalah bahwa Gus Nashir lah yang bakal meneruskan tampuk kepengasuhan pesantren ini. Bukan orang laen,”
“Tapi kapan Gus Nashir pulang dari Kudus,”
“Ya kalo beliau sudah siap, Jo,”
“Kapan siapnya, Kang?”
“Ya tanya sendiri sama Gus Nashir,”
“Piye tho?”
Diam.
“Yang menjadi kekawatiranku dan banyak para alumnus, paska perkawinan ini, mau dibawa ke mana pesantren ini. Otomatis suami Bu Nyai, kan ya jadi kyai juga. Jadi pengasuh. Apalagi nanti kalo dari perkawinan ini melahirkan putra. Tambah ruwet lagi tho. Pokoknya kita harus mengiring wasiat Almaghfurlah,”
***
Aku hanya punya satu modal. Sami’na wa atho’na pada Kyai Lukman. Bagiku hidup dan mati ini sudah ku pasrahkan pada nasab guru agungku, Kyai Lukman. Semenjak lulus SD aku telah tahu bahwa Kyai Lukman-lah yang patut jadi panutan dunia akhirat. Ia benar-benar pewaris nabi. Ulama’ yang arifnya tak tertandingi. Dan aku turut pada titahnya. Meski aku tak pernah tahu siapa Nyai Nila. Meski aku juga belum tahu seagung apa Kyai Abas Abdullah semasa hidupnya. Yang aku tahu aku menurut pada kerso Kyaiku, Saykh Lukman. Bahkan kutinggalkan tunanganku, Dek Isti, demi ta’dzimku pada kyai. Itu saja modalku: keta’dziman. Oh Dek Isti, maafkan Mas Saiful-mu ini. Semoga ini yang lebih baik.
------------
Apa sih yang mereka takutkan? Masalah wasiat? Kalo masalah itu aku pun tak pernah main-main. Wasiat adalah amanat. Dan amanat yang tak ditepati akan jadi api yang membakar di neraka nanti. Ustadz Saiful itu bukan siapa-siapa. Ia bukan darah biru, putih, atau apapun. Ia bukan berasal dari keturunan kyai manapun. Ia benar-benar orang biasa. Beda dengan Kyai Darul, Pak Muzayyin, Ustadz Damanhuri, atau calon-calon lain yang ditawarkan abah. Dan aku memilihnya karena hal itu. Karena keta’dzimannya pada gurunya Kyai Lukman, pada agama. Pada umat yang taat seperti dialah aku patut taat.
------------
Sekali lagi aku tak bisa memberi apa-apa. Bahkan sekedar saran. Apalah aku ini. Nashir malang yang tidak punya sesiapa sanak saudara lalu tiba-tiba menerima anugrah cinta dan kasih sayang ibu bapak yang mengasuhku selayak jantung hati hingga derajatku naik. Kurang bersyukur apa aku jika tak tahu terima kasih dengan menolak rencana pernikahan ibu. Kemarin aku terus terusan mengulur waktu pernikahanku dengan Ning Sa’adah. Putra Kyai Rijal Abdullah, adik Bapak. Perjodohan yang akan mengembalikan tampuk kepengasuhan pesantren pada bani Abdullah. Aku tahu, ibu dan juga kakek tentu sudah tahu kenapa aku tak segera merampungkan quranku. Aku memang mengulur waktu perjodohan itu. Karena aku punya Tiara. Dia bukan apa-apa. Tapi aku kadung mencinta. Oh, ibu, kakek, masalah itu belum selesai kini kenapa engkau tambah membuatku semakin keruh?
***
Aku akan segera menikah. Sebagai anak yang berbakti, apalagi yang menjadi kepuasan lahir batin jika bukan membuat hati orang tua menjadi bahagia? Aku tak kuasa mendengar abah berkata-kata yang membuat semakin lara. Aku ambruk dan semakin teruk jika membiarkan diri sendiri termakan janji yang sebenarnya tak pernah diwajibkan agama. Mewajibkan suatu yang tak wajib adalah dosa. Tapi sebelumnya, aku harus bertanya untuk yang terakhir kali pada Nashir. Relakah ia pada pernikahan ini.
----------------
Dan pada akhirnya aku mengangguk. Hari itu tangis ibu begitu suntuk dan aku tak mengharap hal yang sama terulang untuk yang lebih dahsyat. Aku menyatakan iya untuk pertanyaan yang lebih mirip sebuah hibaan itu. Kali ini aku ingin membuatmu tersenyum, Bu. Setelah banyak kali aku menjadi mendung bagi hari-harimu.
----------------
“Pernikahan jadi dilangsungkan. Dan kini aku tak begitu kawatir lagi, Jo. Semua akan baik-baik saja,”
“Kok bisa, Kang Tohir?”
“Karena setelah pernikahan Gus Nashir dengan Ning Sa’adah, beliaulah yang kemudian akan menjadi pengasuh. Almaghfurlah tak akan kecewa melihatku. Salah satu saksi penanda tanganan wasiat. Pesantren akan tetap diasuh oleh Bani Abdullah,”
“Lha terus Ustadz Saiful?”
“Beliau dan Bu Nyai akan mengasuh pondok putri. Dan pengasuh utama tetap Gus Nashir. Beres tho, Jo?”
“Beres, Kang Tohir!”
***
Setelah pernikahan Gus Nashir dan Ning Sa’adah, pesantren Al-Rahmah kembali mengalir tenang. Gejolak telah habis bersama hikmah yang dapat diambil setiap insan yang bergelut dengan praduga. Emosi yang mengedepan memang membunuh akal sehat. Dan sebulan kemudian, giliran Bu Nyai menikah dengan Ustadz Saiful. Pada hari itu tak satupun merasa berat menyaksikan mereka bersanding. Karena seolah-olah mereka melihat pesona Kyai Abas menguar dari aura Ustadz Saiful. Mereka takjub.
***
Pernikahan berlangsung tanpa gejolak. Tepat seperti pertanda dalam mimpi itu. Sehabis mendung, ada cahaya terang memancar dari balik gunung. Allah, engkaulah Sang Agung. Istikhorohku sungguh kau jawab dengan anggun. Aku bisa membendung segala tangis dan kesah Nila, putri kesayanganku. Dan aku juga bisa mengembalikan Nashir pada jalannya menuntut ilmu dan takdir pengabdiannya pada agama. Untuk selanjutnya, biarkan aku memeluk-Mu dengan khusuk. Biarkan aku istirah dari bising dunia yang penuh emosi dan semakin tak menghiraukan hati nurani dan akal sehat ini gusti. Ijinkan aku mencium kaki-Mu. Lalu izinkan aku menemui Kyai Abas. Ia sepertinya memanggilku. Kulihat tangannya telah merentang untuk memelukku. Dan aku akan segera berbisik padanya bahwa amanat yang belum sempat ia wasiatkan dulu, kini telah aku lakukan. Nila telah menikah lagi. Ashadualla ilaha illallah wa ashadu anna muhammadar-rosulullah….
Kotagede, 15/01 – 03/02/07
bukan cerita tv
; jhony AF

seperti terlempar ke masa lalu
saat rumputan masih hijau
di bawah rumah panggung yang rimbun
reriuh seribu masalah di atasnya
yang belum tercium

dan ketika air kali membuat becek jalanan
menuju surau
dan cerita hantu menjelang petang
membuat enggan beranjak dari pembaringan
tak hendak diri mengaji meski belum ada tv
yang begitu memenjara mata dan hati

mulutmu memahat arca candi
relief hidup yang tak terlupa
ada mawar ada carun yang kesemua-mua
sangat santun mengalir hanyutkan diri di kali belajar
dari mulutmu kawan dari hati

jangan henti memahat, kawan
jangan henti
sebelum aku kembali ke penjara, kawan
ke dalam kotak tv

25 nov 2007
ke roma

ke roma,
siapa yang enggan menyimpan kenangan
taman-taman dan aroma bangunan tua
seribu cerita berjejal ingin menunjukkan kilaunya

aku tertegun ngungun
ada satu yang terlewat dari wajahmu
belum sempat terpigura
dalam anganku

suatu saat, tak hanya ucap tumbuh dalam kelopak
rindu
kita akan ke sana mengulang cerita
tentang orang-orang kalah pada sejarah
dan terpaku sekedar jadi penunggu
yang nostalgis dan sendu

kotagede, 23 februari 2008
di samping nisanmu
: syaikh ahmad marzuqi

di samping nisanmu harum kamboja
ada seribu semilir makna serentak
merasuk jiwa
dari gerisik daun jati ditikam rintik hujan
ada seribu tanya tiba-tiba merapat satu-satu
tentang dirimu wangi menegakkan mati
berkali-kali
menorehkan tanda di kening jamaah dan hati
di gunung-gunung di sisi tak dikenali negeri ini
pada setiap jiwa yang putih jejakmu terangkum
pada jalan lurus indah namamu menggaung
meski mati berkali-kali jiwa berbunga-bunga

itukah magnet doa-doa bagi ruhmu
yang kini di alam tak kasat mata?
adakah diri kan bermakna
saat lagi tak mengenal kata
sentuhan jari dan tatap mata?

diri hidup berkali-kali dalam kematian
nanti saat raga tak lagi hadir
adakah bunga tumbuh di atas nisan?
mengingat hidup tak melakukan apa-apa
selain berakrab dengan kekosongan

giriloyo, 24 februari 2008

Tuesday, February 12, 2008

sajak


lembar rubrik sastra


eksotis!
baru sekedar menatap hati langsung terpikat
pada lembar rubrik sajak minggu yang dahsyat
jiwa munajat memaknai judul demi judul
yang padat pekat menguarkan aroma bersahabat
pada si miskin, papa dan segala hal yang hidup serba pincang
lena mulai hangat melilit membaca telaah bait demi bait
sajak penuh hasrat bercermin padanya hingga tamat
mendapati diri tambah meratap nasib tak kunjung membaik
sajak-sajak itu mengurung dalam rasa syahdu
membelenggu diri dalam secangkir kopi
lalu memaksa menuruti bola salju
menulis getir dan kepedihan yang tak terjangkau kebijakan
di depan kertas dan pena diri terpaku
mampat dan ragu
akankah hidup berubah setelah menulis gelisah
sebab raga tak ke mana-mana meski pesan di mana-mana
inikah jalan para penulis sajak
menepi di pinggir sunyi dan mati bersama kekosongan
hidup penyair di alam rasa
cara paling luhung mengusik dunia
bermula dari rasa jiwa suka atau tak suka lalu raga menyatu
membawa cangkul dan sabit mmengolah sawah kehidupan
menjadi lebih baik atau lebih buruk
aduhai rubrik sajak,
sungguh hati terusik tuk tak sekedar duduk
di singgasana sepi para penyair sunyi
tapi tuk segera bertindak melakukan perubahan
menjadi lebih baik


12 Feb 2008

sajak


dunia sebatas nikmat


aku hanya akan menulis yang indah-indah saja
tak satu pun yang boleh beraroma airmata
seluruhnya nyanyian dan tarian pesta suka
tentang kebahagiaan tentang kemenangan
tentang senyum dan tawa yang tak lekang
hingga tiada lagi sengsara tak ada lagi derita
tak dijumpa lapar tak dimengerti tangis
hidup menghalalkan mimpi mengapa harus
memilih mimpi buruk?
susunlah pencapaian nikmat tertinggi
yang dapat dibayangkan lalu perlahan
kita bawa ke mana kita suka
tak perlu perjalanan pulang
tutup seluruh pintu menuju rumah
benar-benar hidup dalam dunia sebatas nikmat
sekali lagi tak perlu pulang
tak usah kembali ke kenyataan
terbanglah bersama balon-balon mimpi
meski kita selalu tahu tak pernah
sampai pada perwujudan

13-14 des 2007

sajak-sajak


kisah raksasa seribu wajah


yang selalu berhasil membangunkan
raksasa seribu wajah adalah sinta
cukup dengan menguarkan aroma
perempuan berwajah tanpa noda
lalu mengutuki diri sendiri
o, inilah lelakon panjalma
dajjal laknat mengangkangi
seribu maksiat
siap menerkam jiwa yang menghunuskan
gelisah di ujung keyakinannya
inilah kisah negeri perempuan
yang dibeberkan sejarah laki-laki
dan memang dikhusukan diri sendiri
perempuan sirnalah ditelan api
di telan bumi
lelaki, biarlah mati tertikam
persangkaanya sendiri
di ujung bidikan panah terakhir
yang menembus tengkuk para raksasa
; dan mereka
mati ketawa


21 des 2007

sajak-sajak

dunia yang murung

dunia ini penuh kemurungan
meski pula diguyur kesuraman
tidakkah gerah dibungkus sedih
selama berabad-abad dihimpit luka
ayolah kawan terbang ke kebahagiaan
katakan pada diri dan semua orang
bahwa kamu bahagia
bahwa kemarin sore kamu sudah mengubur
kesedihan di belakang rumah
lihatlah sayapmu mengembang
ia akan membawamu ke pelangi
berharap dan doalah
lalu alam akan membukakan
tangganya menuju langit
sebab dunia adalah energi
engkau energi
seluruh bergabung dalam kepadatan
berpijak dan sampai
pada bijak

sajak-sajak

renungan malam

seorang anak perempuan smp kelas awal ikut ospek
di malam terakhir ada renungan
ia menangis paling awal ketika anak-anak yang lain ketawa ketiwi
mendengar sang pengantar mengalunkan bait-bait pidato sok puitis
ia menangis bukan karena menyesal telah mensia-siakan waktu
dengan tak bersyukur dan tak berterimakasih pada orang tua pun sanak saudara
tapi karena belum dapat kesempatan menghunuskan maut ke jantung bapaknya
ia ingin balas dendam tapi tak ada jalan ada jalan
maut lebih dulu merenggut nyawa bapaknya
di akhir renungan ia tertawa paling keras ketika anak-anak yang lain masih sesenggukan menahan isak penyesalan
ia tertawa karena berhasil menemukan cara balas dendam
yaitu:
menggali kubur bapaknya
dan menusukkan belati tepat pada kemaluannya.
yang dulu sempat mencabik keperawanan sekaligus
kemanusiaannya.


28 desember 2007

Saturday, February 9, 2008

Pilem

Dalam dunia pesantren, santri dan televisi seolah tidak bisa disatukan. Sejak jaman TVRI masih menguasai pasar pertelevisian, hingga sekarang yang marak tumbuh berkembang stasiun TV swasta, di sebagian besar pesantren yang masih memegangi tradisi salaf (tradisional) tidak pernah menjadikan televisi sebagai media yang pantas untuk diakrabi. Malah sebaliknya, ia –TV- seolah-olah sebuah kotak penjelmaan dari setan dan hawa nafsu yang harus dipantangi oleh para santri.
Hal ini bisa dimaklumi, karena tradisi yang dibangun pesantren adalah tradisi membaca (Quran, kitab kuning, dzikir, mujahadah), bukan tradisi melihat. Apalagi tidak bisa dipungkiri, program-program acara yang ditawarkan stasiun TV sebagian besar adalah program hiburan yang dalam kacamata pesantren, dianggap sebagai laghwun (kesia-siaan). Dan laghwun berarti dosa.
Nah, yang menjadi menarik kemudian adalah bagaimana tanggapan dunia pesantren jika program acara TV tersebut disuguhi dengan tema dunia pesantren sebagai citra yang religius dalam bentuk yang lebih khusus lagi yaitu film ataupun sinetron yang notabene dianggap laghwun tersebut?
Menurut Dedy Mizwar, (produser, sutradara, aktor, dan pemilik produktion house), pada bincang-bincang bareng redaktur LkiS di kantor redaksi, menghadirkan pesantren ke dalam bentuk audiovisual (terutama film/sinetron) dapat menjadi alternatif tontonan sekaligus tuntunan islam yang lebih membumi. Ia bisa menyegarkan susana di antara maraknya tontonan islami yang mengedepankan kekejaman dan penyikasaan atas nama agama (Azab dan siksa Tuhan). Ia menambahkan seandainya tontonan semacam itu dibiarkan mewabah, maka tidak menutup kemungkinan orang-orang akan lari daroi islam. “seandainya saya bukan orang islam mungkin saya akan berkomentar, wah, betapa kejam Tuhan umat islam!”
Hal senada diungkapkan pula oleh sutradara muda peraih piala citra 2006 untuk film Brownies, Hanung Bramantyo. Bahkan ia menambahkan bahwa pesantren masih dan akan selalu menawarkan nilai artistik tersendiri dan lain dari pada yang lain. “tapi memang, ini bener-bener proyek idealisme” komentarnya kemudian tanpa harus pesimistis. Karena memang dunia perfileman saat ini masih dikuasai kapitalisme akut.
Dengan tanggapan dan komentar positif dari para praktisi film tersebut, lalu bagaimana dunia pesantren menanggapainya?
“Bagus, saya mendukung, asal dunia pesantren ditunjukkan secara tepat,” begitu komentar Lora Faizi L. Kaelan, seorang Gus sekaligus seorang sastrawan dari pesantren Guluk-guluk Madura menanggapi. Menurutnya, dunia pesantren boleh dan bisa dieksprolasi oleh siapa saja tanpa kecuali asalkan dia benar-benar tahu tentang dunia yang unik dan komplek ini.
Para santri pun mengamini pendapat Gus itu. “bagus sekali, memanfaatkan TV sebagai media dakwah pesantren,” kata Fatkan Anis, santri PP nurul ummah kotagede asal porworejo yang sudah sejak kelas 4 SD mulai nyantri di 3 tempat ini berkomentar bahwa TV tidak bisa mengkover 100% kekayaan dunia pesantren, terutama aspek batiniyahnya. “kalo mau tahu sepenuhnya, ya harus masuk pesantren dulu!” lanjutnya promosi. (red: Setujuuuu!)
Melihat kondisi yang demikian kaya, selanjutnya yang menjadi permasalahan tentu saja siapakah yang harus turun tangan?
Sebagaimana kelaziman sebuah kultur dan komunitas, tentu menyimpan sisi negatif di samping sisi positif. Tentu saja hal ini kadang menjadi keresahan tersendiri bagi pesantren jika sisi negatifnya terlalu diekspos berlebih sementara nilai positif yang mendominasi malah dikesampingkan.
“wah, itu tak perlu ditakutkan, kang. Malah hal itu bisa menjadi otokritik bagi dunia pesantren untuk lebih maju lagi menuju kebaikan. Tapi yang perlu diingat, ya semuanya harus ditampilkan dengan proporsional tentunya,” kang anis yang punya cita-cita kuliah di UNY ini mengakhiri perbincangan.
Secara terpisah, Hj. Nyai Barokah, Pengasuh PP. Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta menyatakan bahwa Film-film di TV sekarang sering menampilkan kehidupan kaum perkotaan, dengan ekonimi kelas menengah ke atas. Hal tersebut kurang relevan dengan keadaan mayoritas penduduk di indonesia sehingga menimbulkan gaya hidup kurang pas. Masyarakat terpengaruh film dan bergaya hidup mewah. Menghalalkan segala cara untuk mencapainya.
Beliau juga menyatakan bahwa dalam membuat film pesantren biar para pekerja film yang membuatnya. Yang penting mereka harus tahu benar tentang kehidupan pesantren tidak mengada-ada dan bermisi positif atau dakwah.
Semoga film pesantren ke depan dapat diposisikan dalam keadaan yang proporsional bukan eksploitasi hiburan semata dan dapat menjadi media apik dalam memberikan tontonan yang menuntun arah bangsa ini lewat kebudayaan. Amien.

sajakku

Engkau Yang Lari

Engkau lari dari dirimu
Meraih burung patah sayap
Menyangkarkan dalam tatapku
Lalu kau tengadah langit
Berharap senja lekas pagi
Sayang aku masih rembulanmu
Hujan telah berkabar
datangnya di pagi buta
di kala hujan
sia-sia kau nanti matahari
kembalilah pada dirimu
aku masih rembulanmu
KG, 05 mei 2007

Friday, February 8, 2008

sajakku

Kisah tentang sahabatmu
; perempuan bermata coklat

engkau telah banyak berkisah tentang burung
yang hinggap pada segala daun
yang bersangkar pada setiap ingin

begitu fasih kau hafal setiap lembut bulunya
menghias jadi pelindung
meruapkan hikmah
dari jiwanya yang ketuban pecah
menguar harum keningnya
sisa sujud dan tawadhu’ yang khusu’
tiap sepertiga malam dan dhuha yang suntuk

“ia bersangkar pada kehendak
Tak beranjak hanya untuk reruntuhan
Yang berserak
; Debu di atas debu”

“Dirinya batu, dirinya mutiara
Dirinya hangat
Pada malamku yang tak ada selimut,”
Katamu berkisah tentang si burung
Yang memaksa bintang dan matahari berkunjung
Sekedar untuk menghibur
Di kala hatinya mendung

“diriku racun,” engkau berkesah
Sedang liurnya kau hirup sebagai penawar resah
Yang mengucur jauh dalam muara singgasana
Kemegahan cerita demi ceritamu
Tentang si burung lucu
Yang menyimpan wahyu

“suatu saat biar kau kuhampirkan
Pada sangkarnya yang tak pernah memenjara”
Katamu pada malam kesekian
Setelah lelah
Penantianku tak mengenal temu
Berharap kisahmu tentang perjumpaan kita saja yang sederhana
Dan memendam rindu

“hanya satu duri yang membuatnya percaya
Bahwa air mata memang seharusnya tumpah
Saat perihnya menikam gundah
Durinya, lelakinya”
Matamu menghujat, bibirmu merapat
Kau hunuskan seluruh keparat
untuk lelaki yang menikamkan duri pada sahabat
si burung yang terperangkap rasa, cinta, sekaligus laknat

sekali lagi aku menghela nafas
rasanya benar-benar takkan ada cerita
tentang tatap kita serupa pena
yang pernah bertemu kertas sejarah
dan mulai menuliskan kisah
bukan tentang burung
tapi tentang rahim kebisuan yang pernah kita tanami
ruh majnun

Ah, sayang kau tak pernah tahu.
Ketika itu, ruh laela kuarung di bening danau matamu

“mas, lihatlah ke angkasa, burung itu menukik kemari
Rentangkan tanganmu
Biar ia meredam tikam di hangat cintamu
Engkaulah lelaki yang sempurna
Tuk menyeka air matanya”

Aku menatap angkasa
Tapi langit serupa danau
Tak kulihat burung atau apapun
Selain ruh laela dalam bening mata

Sayang, kau tak pernah ingin aku berkisah
Tentang danau di coklat matamu
di mana aku ingin melarungkan hati
Menemu laela-ku lagi
Yang jujur yang tak menikamkan kebohongan
Pada diri sendiri

Kotagede, 03 Mei 2007

guru vs orang tua

Orang tua siswa SMPN 20 Solo melayangkan protes kepada sekolah. Pasalnya, rambut anaknya dipotong oleh guru secara tidak beraturan. Rambut anak tersebut dipethak-pethak karena dinilai terlalu panjang (Sindo; 02/02/08).

Kejadian serupa sangat mungkin terjadi di sekolah lain. Anak adalah investasi orang tua. Ketika investasinya diganggu, maka investor akan berang dan bisa dipastikan membela investasinya. Lalu bagaimana menyikapi kondisi tak nyaman dalam dunia pendidikan antara sekolah dan orang tua semacam ini di mana seharusnya keduanya bisa berjalan beriringan dalam pergumulan masyarakat pendidikan?
***
Sekolah sebagai tempat belajar sudah tidak dipersoalkan lagi keberadaannya, akan tetapi keberadaan sekolah bukanlah merupakan satu-satunya sentral pendidikan. Dalam dunia pendidikan terdapat tiga sentral pendidikan, yaitu: keluarga, sekolah dan masyarakat (A.D. Marimba: 1984). Ketiga sentral ini harus berjalan koordinatif dan sinergis demi mewujudkan tujuan pendidikan yaitu mewujudkan manusia pembelajar yang seutuhnya baik dalam hal intelektualitas, emosionalitas, dan spiritualitas.
Pola hubungan koordinatif antara ketiga sentral pendidikan tersebut dapat diwujudkan melalui lembaga komite sekolah/majlis madrasah yang beranggotakan perwakilan guru, siswa, orang tua dan tokoh masyarakat terkait. Keanggotaan tersebut sebenarnya sudah ideal secara teori. Kerjasama yang apik dalam proses pendidikan yang mencakup kepentingan keseluruhan anggota di segala aspek pendidikan, akan mampu menghasilkan kualitas pendidikan yang mumpuni. Namun pada prakteknya lembaga tersebut baru sebatas membahas masalah mikro semisal masalah yang berkaitan dengan pendanaan sekolah dan kepentingan yang bersifat eksidental (penentuan beasiswa, dll) seperti halnya kasus BP3 pada jaman doeloe. Hal-hal yang berkait dengan pelaksanaan pendidikan yang lebih urgen (kelancaran KBM, pembinaan siswa berprestasi, dll) dan yang lebih makro kadang terbengkelai dan terabai. Akibatnya rasa saling curiga di antara ketiga pilar tersebut (orang tua, sekolah, masyarakat) menjadi hal yang sangat mungkin menggejala. Hal ini diperparah dengan kemandegan hasil pembahasan hanya ditingkat lembaga komite sekolah/majlis madrasah saja, tanpa sosialisasi secara merata dan komprehensif kepada pihak-pihak yang terkait.
Lalu, apabila menilik dari kasus yang terjadi di Solo tersebut, yang salah yang mana? Orang tua atau guru (sekolah)? Keduanya tidak bisa disalahkan. Karena yang menjadi pokok permasalahan bukanlah personal, tapi ketimpangan komunikasi antara sekolah dan orang tua atas proses pendidikan peserta didik. Di satu pihak guru (sekolah) menginginkan proses pendidikan yang terbaik di sekolah (dengan menegakkan peraturan semisal mencukur siswa gondrong) di pihak lain orang tua menginginkan kondisi terbaik bagi anaknya yang sudah disekolahkan (mendapatkan hasil yang baik, termasuk rambut yang rapi).
Untuk itu diperlukan langkah bijak dan strategis dengan menjalin pola komunikasi yang baik, berimbang dan bertanggung jawab antar anggota pendidikan (orang tua, sekolah, masyarakat, dan peserta didik), agar konflik yang tidak perlu seperti kasus di atas tidak terjadi dan pendidikan berjalan lebih baik.

Thursday, February 7, 2008

dongeng

Kenapa Bercerita (Mendongeng)?

“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik
dengan mewahyukan al-quran ini kepadamu…”
(Yusuf 12:3)


Muqadimah.
Jika Allah saja berkisah pada makhluknya, kenapa saya tidak? Masih ingat, apa saja cerita pengantar tidur yang sampai kepada anda saat masih kecil dulu? Jawabannya beragam, tapi bisa diambil rata-rata orang akan menjawab: masih ingat!
Selama itukah cerita mampu bertahan? Yap, ia akan bertahan ribuan tahun…
Kenapa musti bercerita?
Jawabnya karena manusia lebih mudah menerima kesan dari pada pesan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebagian dari kita (termasuk anak-anak) cenderung untuk ogah dikhotbahi dengan segunung nasehat. Melalui cerita, manusia diajarkan mencari hikmah tanpa merasa digurui. Bercerita ibarat kita curhat. Ada sebuah proses transfer emosi dari hati ke hati. Suasana seperti inilah yang akan membangun komunikasi berjalan sangat intim. Jika kita dekat, akrab dan saling berbagi, lalu apalagi yang mesti dikawatirkan?
Dengan bercerita, ada beberapa unsur luar biasa yang bisa kita dapatkan dalam pembangunan karakter dan kepribadian pendengar, antara lain:
sarana kontak batin antara pencerita dan pendengar, melatih imajinasi, mempertajam emosi, sarana pengetahuan bahasa, membantu proses identifikasi diri/perbuatan, media penyampai pesan/nilai-nilai tertentu, sebagai sarana hiburan dan pencegahan kejenuhan

Pada akhirnya,
Bercerita adalah salah satu metode pembelajaran yang efektif. Ia bekerja di wilayah rasa. Belajar dengan hikmah akan membawa petualangan lain bagi pembelajar untuk menempuh alam kesadarannya masing-masing tanpa diganggu oleh yang namanya keterpaksaan. Wa akhirnya; “Maka, ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al-A’rof 176)
Tanya : Lalu kenapa bercerita?
Jawab : Karena ada yang mau diceritai. Kalo tidak, tentu tidak usah bercerita.
Tanya : Tapi kenapa tetap bercerita meski tak ada yang meminta?
Jawab : Karena Tuhan maha mendengar semua cerita…

Kesatria Asu

Sore yang hujan. Tiba-tiba ada sms nongol di HP Motorola C168 silver saya.
"secangkir kopi dan beberapa iris daging kurban menunggumu, mereka mengajak kita memeluk Tuhan,"
"Ok!" balas saya singkat.
Hujan belum reda, tapi saya tetap akan menemuinya, Pakar Kesatria Asu. Saya sudah berjanji padanya lewat sms. Pantang bagi saya melanggar janji. Tapi kadang kalo lupa saya terpaksa tak bisa memenuhi. Namanya juga lupa. Lupa itu tak bisa dihukumi. Lupa itu mabok. Mabok itu rufi'al qolam.
Kembali ke Pakar Kesatria Asu sudah menunggu. Di sebelah tempat ia tinggal ada sebuah kolam yang merenggut salah satu fitnah dunianya; perempuan pertama dari darahnya. Dan semakin menjadilah kepakarannya.
Siapa sebenarnya Kesatria Asu?
Itu hanya istilah yang saya paksakan untuk dirinya. Disamping pakar Kesatria Asu, menurut saya ia termasuk juga dalam barisan Kesatria Asu itu. Hanya karena ia pernah bilang bahwa ia akan sama saja sebelum dan sesudah dibilang "Anjing, Kamu!". Karena baginya ada tingkat kita memaknai hidup berketuhanan. Dan kesatria Asu itu di tingkatan paling awal ataw paling rendah; yaitu ketika manusia melihat makhluk sebagai ayat, pertanda ke'adaan', implementasi dari sifat-sifat ketuhanan. Ketika melihat cewek cantik, ada di sebaliknya sifat Jamaliah Tuhan. Ketika melihat batu yang keras, ada di sebaliknya sifat jabbar-Nya.dan lain sebagainya.
"Jadi," kata dia, "Jikapun saya dikatakan anjing saya tidak akan marah, sebab di sebalik saya dan anjing itu ada Tuhan. Hahaha…," tawanya mulai menelusup di antara seribu suara binatang malam perswahan.
Di sebuah kelokan, seekor anjing menggonggong sambil komentar, "Manusia! Tak mau aku disamakan denganmu, yang hanya bisa menyulam kerusakan demi kerusakan, menjahit kehancuran demi kehancuran, mengukir kemungkaran demi kemungkaran, mengakibat bencana demi bencana. Akulah pentasbih abadi. Jika engkau ingin jadi kesatri Asu, bunuhlah kemanusiaanmu dan pakailah ke-asu-an diriku,"
Rupanya Sang Anjing Protes.
Kemanusiaan seseorang adalah 'kesalahan dan lupa'.
Keasuan anjing adalah ketidakbaikan anjing selaku binatang.
Meleburkan keduanya akan mencipta karakter makhluk yang sempurna.
Dan sesempurna-sempurna makhluk, kata Tarji,
"Takkan sampai sebatas Allah,"
Subhanallah…

Monday, February 4, 2008

Pak Harto; Mantan atau Masih Presiden?

Indonesia sedang berkabung. Seorang tokohnya telah berpulang. Haji Muhammad Soeharto meninggal dunia pada hari Ahad, 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan setelah dirawat intensif selama 24 hari oleh dokter kepresidenan yang berjumlah 40 orang.
Ada yang berduka, ada yang menghela nafas lega. Terlepas dari rasa suka atau tidak suka, dia adalah bekas orang nomor satu yang berkuasa selama 32 tahun di negeri ini yang jasanya bagi bangsa patut untuk dihargai. Sedangkan kesalahan-kesalahannya sudah seharusnyalah dipertanggungjawabkan.
Tulisan ini tidak akan membahas kontroversi klaim benar salah atas diri Jenderal Besar Purnawirawan ini, melainkan ada satu hal yang tak kalah menariknya untuk dibahas, yaitu tentang penggunaan kata ‘mantan’ sebelum kata ‘presiden’ yang melekat pada nama HM Soeharto.
Seseorang yang selesai bertugas menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut pensiunan. Orang yang pernah ditahan sebagai pesakitan di LP disebut bekas tahanan atau eks napi. Purna tugas anggota ABRI disebut purnawirawan. Demikian seterusnya. Lalu, bagaimana dengan kasus Pak Harto yang bekas Presiden? Kata apa yang pantas melekatinya?
***
Beberapa media massa lokal maupun nasional membentangkan istilah ‘Mantan Presiden RI’ atau ‘Presiden RI ke-2’ tanpa ‘mantan’ bagi Pak Harto. Kedua istilah yang digunakan tersebut tidak mengandung kesalahan. Pada frase pertama kata ‘Mantan’ menduduki posisi menerangkan untuk frase ‘Presiden RI’ yang berada dalam posisi diterangkan. Frase ini mengikuti bentuk menerangkan-diterangkan (MD). Penggunaan kata ‘mantan’ pada frase ini sudah tepat secara makna sebab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘mantan’ bermakna bekas, tidak lagi menjadi-, hal ini sesuai dengan kedudukan HM Soeharto yang sudah tidak menjabat presiden RI pada saat istilah itu digunakan.
Frase kedua, ‘Presiden RI’ menduduki posisi diterangkan dan ‘ke-2’ menduduki posisi menerangkan. Frase ‘Presiden RI ke-2’ mengikuti pola diterangkan-menerangkan (DM). Apabila frase ini diletakkan sebelum kata HM Soeharto, maka menjadi frase yang bermakna HM Soeharto adalah Presiden RI yang ke-2. Kalimat ini tidak salah, karena bagaimanapun HM Soeharto tetap Presiden RI yang ke-2. Dia tidak akan pernah menjadi presiden RI yang ke-3 atau yang ke- seterusnya. Seperti halnya Bung Karno, ia tetap akan menjadi presiden RI yang pertama.
Pertanyaan muncul, yang salah yang mana? Yang salah adalah apabila kata ‘mantan’ diletakkan pada frase ‘Presiden RI yang ke-2’ sehingga menjadi ‘mantan Presiden RI yang ke-2’. Pembuktiannya adalah, jika HM Soeharto adalah mantan presiden RI yang ke-2, maka harus ada penggantinya yaitu presiden RI yang ke-2 setelah HM Soeharto. Kenyataannya tidak demikian. Tidak ada presiden RI yang ke-2 selain Soeharto. Presiden RI yang ke-2 tetaplah Soeharto dan hanya dialah satu-satunya Presiden RI yang ke-2 di negara Republik Indonesia ini. Jadi salut buat Pak Harto yang meski telah tiada, ia tetap langgeng menjadi Presiden RI yang ke-2.
Frase yang lebih salah adalah ketika kata 'mantan' dihilangkan dari frase 'mantan presiden RI' sebab kenyataannya Soeharto sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI ketika frase itu. Yang menjadi presiden RI sekarang adalah DR. H. Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Jadi salut buat SBY berani mengganti HM Soeharto serta presiden-presiden yang lain menjadi orang nomor wahid di negeri 'sulit' ini. Tak sia-sia ia jadi presiden, kalo diperhatikan pada pidatonya di pemakaman Pak Harto, anda akan mendengar frase 'Jendral Besar Purnawirawan dan Presiden RI ke-2 HM Soeharto'. Frase ini juga digunakan oleh protokol upacara. Namun sayang, ketika acara doa yang dipimpin oleh Kepala Kanwil Depag Jawa Tengah, tiba-tiba rasa khusuk yang sempat saya rasakan berkurang gara-gara mendengar beliau membaca frase yang salah yaitu 'mantan presiden RI yang ke-2'. Ah sayang, jika saja tulisan doa yang dibacanya itu diedit dulu maka akan lebih baik jadinya. Mungkin Menteri Agama perlu menginstruksikan kepada stafnya agar mengadakan kursus bahasa Indonesia bagi para Kepala Kanwil dan seluruh jajarannya. Atau mungkin saya yang harus berhenti memperhatikan bahasa?
Pak Harto pernah menjadi presiden RI, sehingga dapat disebut mantan presiden RI. Kini ia telah berhenti jadi manusia hidup dan selanjutnya berprofesi sebagai manusia tidak hidup sehingga layak disebut ‘almarhum’ alias ‘mantan manusia hidup’. Seperti halnya Pak Harto, kita semua pun akan mengalami hal yang sama, menjadi ‘almarhum’ atau ‘almarhumah’ jadi mari kita mempersiapkan diri agar terhindar dari sindroma pasca hidup (siksa kubur yang pedih). Semoga Pak Harto ditempatkan di tempat yang paling tepat di sisi Tuhan. Amien.

Wednesday, January 30, 2008

perang saudara

"Ada pesan untuknya, Ni?"
"Satu hal saja, Da. Jika kamu bertemu dengan dia, tataplah dengan matamu seluruh bagian dirinya. Jangan biarkan secuil pun dari tiap inci tubuhnya tak kau rekam. Biarlah selama beberapa detik. Jangan kau berkedip. Sekali lagi, jangan kau berkedip sebelum seluruh dirinya rasuk dalam matamu,"
"Kenapa harus?"
"Dan setelah kau kemari, ijinkan aku menatap matamu, Da,"
"Untuk apa?"
"Yah, hanya begitulah aku dapat meresapi dirinya,"
"Lewat mataku, Ni?"
"Ya! lewat matamu, Da. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk melihat binar mata orang yang mengasihi. Entah kenapa seolah ia begitu jijik melihatku. Buktinya ia tak pernah mau menemui dan menjawab telepon atau smsku,"
"Mungkin karena kamu gendut, Ni, tidak sepertiku,"
"Mungkin. Tapi betapa dangkalnya bukan?,"
"Ya. tapi syah, bukan? Kalo dia memilih diriku yang lebih langsing?"
"Ya. syah. Sangat syah,"
Angin berhembus menembus dinding-dinding bukit meninggalkan Ni dalam sunyi tanpa terpaan cahaya pagi. Mendung itu menggantung di langit matanya yang gersang. Aroma Da sudah jauh tak tercium. Bayangannya hilang di kelokan. Ia akan segeram menemui Za. Menatapnya lekat dan merekam aroma tubuhnya untuk saudara kembarnya, Ni.
Di ufuk pandang, Za tiba-tiba berucap tegas, "Aku menginginkanmu, Da, bukan Ni,"

"Tidak, Za, aku tidak bisa,"
"Berarti keduanya. Selamat tinggal, Da. Aku akan mengembara. Jangan lagi kau pandang aku, karena hanya kebencian yang akan kau abadikan dalam bening matamu,"
***
"Kenapa kebencian yang kau rekam, Da?"
"Itulah yang terjadi, ia menginginkanmu, Ni,"
"Jadi?"
"Ya, begitu juga aku,"
Bermulalah perang saudara. Dan tak ada lagi titipan dalam rekaman mata. Karena, kedua mata sekarang tak bisa lagi berbagi cerita bahagia.

Ksatria Wedus

Pernah mendengar istilah kesatria cahaya? Kalo belum paling tidak sekarang sudah. Dan sayangnya saya tidak akan berbicara tentang ksatria cahaya, tapi saya akan ngomong masalah ksatria wedus. Namun biar ndak penasaran sampena-sampean bisa baca buku ‘Kitab Kesatria Cahaya’ karya Paolo Coelho.
Saya teruskan. Kesatria wedus adalah lek fajar. Dan lek fajar adalah kesatria wedus. Lalu siapa lek fajar itu?
Di suatu desa kecil yang terpencil, ada seorang separuh tua. Umurnya baru 45. Anaknya sembilan orang. Senyum selalu mengulas di atas bibirnya yang pecah-pecah. Peci hitam butut yang warnanya sudah berubah merah selalu nongkrong menutup rambut ubannya yang jarang-jarang. Kesembilan anaknya sudah mentas, artinya sudah pada menikah dan hidup berkeluarga. Dan dialah kesatria wedus itu. Dialah lek fajar.
Lalu apa hebatnya dengan kesatria wedus itu? Ialah guru yang selalu bisa mengatakan bahwa dirinya bukan guru. Apa istimewannya? Toh setiap orang mampu mengatakan hal yang sama.
Guru bukanlah seorang yang mengais murid. Tapi murid datang padanya. Ialah guru yang selalu didatangi murid. Konon muridnya tak hanya manusia, bahkan makhluk lain, alias jin. Yang paling kentara adalah wedus gimbal itu. Tujuh tahun lalu ia datang entah dari mana dan begitu saja mendekam di pelataran rumah lek fajar yang terbuat dari gedek (anyaman bambu). Wedus itu untuk selanjutnya tak bosan menemani ke manapun lek fajar pergi.
Dalam hasanah tasawuf, seorang sufi akan melewati tataran ‘ulfah. Dan pada saat itulah segala makhluk akan nyaman berada di dekatnya. Entah lek fajar mengalami hal itu atau tidak, yang jelas ia selalu diikuti wedus gimbal itu. Lek fajar tak pernah merasa terganggu begitu pula wedus itu. Bahkan seperti sebuah simbiosa mutualisme. Lek fajar naik taraf kehidupan ekonominya, dan wedus itu gemuk dan bersih. Namun siapapun tak akan menyangka kalo lek fajar cukup secara ekonomi. Hidupnya masih seperti yang kemarin, jualan minyak tanah keliling desa. Sepedanya masih sama, sepeda kumbang yang bila dikayuh berbunyi ‘krek krek krek’. Pelanggannya juga sama. Rumahnya juga masih gedek. Tapi itulah berkah; cukup.
Seperti halnya dunia yang tak akan kesepian dengan cerita miring, kasak-kusuk tentang wedus lek fajar itupun berkembang pada arah menuduh. Bahwasannya ia adalah jelmaan jin pesugihan yang menjadi ingon-ingon (peliharaan) lek fajar. Lek fajar bukan menutup mata akan hal itu, tapi cukuplah murid-muridnya yang bicara, bukan bicara sesungguhnya, tapi hal ihwal muridnya. Banyak santri yang tiba-tiba datang. Mereka belajar ngaji. Mereka santun di masyarakat. Dan mereka mampu menerangi wilayah yang sebelumnya suram itu. Kata-kata yang sesungguhnya yang lebih hebat adalah perbuatan bukan? Dan lek fajar menepis isu itu dengan kesalehannya di masyarakat. Bukan menyepi dan sendiri.

Tuesday, January 29, 2008

Ingsun

mbantul, jogjakarta, Indonesia