Friday, February 8, 2008

sajakku

Kisah tentang sahabatmu
; perempuan bermata coklat

engkau telah banyak berkisah tentang burung
yang hinggap pada segala daun
yang bersangkar pada setiap ingin

begitu fasih kau hafal setiap lembut bulunya
menghias jadi pelindung
meruapkan hikmah
dari jiwanya yang ketuban pecah
menguar harum keningnya
sisa sujud dan tawadhu’ yang khusu’
tiap sepertiga malam dan dhuha yang suntuk

“ia bersangkar pada kehendak
Tak beranjak hanya untuk reruntuhan
Yang berserak
; Debu di atas debu”

“Dirinya batu, dirinya mutiara
Dirinya hangat
Pada malamku yang tak ada selimut,”
Katamu berkisah tentang si burung
Yang memaksa bintang dan matahari berkunjung
Sekedar untuk menghibur
Di kala hatinya mendung

“diriku racun,” engkau berkesah
Sedang liurnya kau hirup sebagai penawar resah
Yang mengucur jauh dalam muara singgasana
Kemegahan cerita demi ceritamu
Tentang si burung lucu
Yang menyimpan wahyu

“suatu saat biar kau kuhampirkan
Pada sangkarnya yang tak pernah memenjara”
Katamu pada malam kesekian
Setelah lelah
Penantianku tak mengenal temu
Berharap kisahmu tentang perjumpaan kita saja yang sederhana
Dan memendam rindu

“hanya satu duri yang membuatnya percaya
Bahwa air mata memang seharusnya tumpah
Saat perihnya menikam gundah
Durinya, lelakinya”
Matamu menghujat, bibirmu merapat
Kau hunuskan seluruh keparat
untuk lelaki yang menikamkan duri pada sahabat
si burung yang terperangkap rasa, cinta, sekaligus laknat

sekali lagi aku menghela nafas
rasanya benar-benar takkan ada cerita
tentang tatap kita serupa pena
yang pernah bertemu kertas sejarah
dan mulai menuliskan kisah
bukan tentang burung
tapi tentang rahim kebisuan yang pernah kita tanami
ruh majnun

Ah, sayang kau tak pernah tahu.
Ketika itu, ruh laela kuarung di bening danau matamu

“mas, lihatlah ke angkasa, burung itu menukik kemari
Rentangkan tanganmu
Biar ia meredam tikam di hangat cintamu
Engkaulah lelaki yang sempurna
Tuk menyeka air matanya”

Aku menatap angkasa
Tapi langit serupa danau
Tak kulihat burung atau apapun
Selain ruh laela dalam bening mata

Sayang, kau tak pernah ingin aku berkisah
Tentang danau di coklat matamu
di mana aku ingin melarungkan hati
Menemu laela-ku lagi
Yang jujur yang tak menikamkan kebohongan
Pada diri sendiri

Kotagede, 03 Mei 2007

guru vs orang tua

Orang tua siswa SMPN 20 Solo melayangkan protes kepada sekolah. Pasalnya, rambut anaknya dipotong oleh guru secara tidak beraturan. Rambut anak tersebut dipethak-pethak karena dinilai terlalu panjang (Sindo; 02/02/08).

Kejadian serupa sangat mungkin terjadi di sekolah lain. Anak adalah investasi orang tua. Ketika investasinya diganggu, maka investor akan berang dan bisa dipastikan membela investasinya. Lalu bagaimana menyikapi kondisi tak nyaman dalam dunia pendidikan antara sekolah dan orang tua semacam ini di mana seharusnya keduanya bisa berjalan beriringan dalam pergumulan masyarakat pendidikan?
***
Sekolah sebagai tempat belajar sudah tidak dipersoalkan lagi keberadaannya, akan tetapi keberadaan sekolah bukanlah merupakan satu-satunya sentral pendidikan. Dalam dunia pendidikan terdapat tiga sentral pendidikan, yaitu: keluarga, sekolah dan masyarakat (A.D. Marimba: 1984). Ketiga sentral ini harus berjalan koordinatif dan sinergis demi mewujudkan tujuan pendidikan yaitu mewujudkan manusia pembelajar yang seutuhnya baik dalam hal intelektualitas, emosionalitas, dan spiritualitas.
Pola hubungan koordinatif antara ketiga sentral pendidikan tersebut dapat diwujudkan melalui lembaga komite sekolah/majlis madrasah yang beranggotakan perwakilan guru, siswa, orang tua dan tokoh masyarakat terkait. Keanggotaan tersebut sebenarnya sudah ideal secara teori. Kerjasama yang apik dalam proses pendidikan yang mencakup kepentingan keseluruhan anggota di segala aspek pendidikan, akan mampu menghasilkan kualitas pendidikan yang mumpuni. Namun pada prakteknya lembaga tersebut baru sebatas membahas masalah mikro semisal masalah yang berkaitan dengan pendanaan sekolah dan kepentingan yang bersifat eksidental (penentuan beasiswa, dll) seperti halnya kasus BP3 pada jaman doeloe. Hal-hal yang berkait dengan pelaksanaan pendidikan yang lebih urgen (kelancaran KBM, pembinaan siswa berprestasi, dll) dan yang lebih makro kadang terbengkelai dan terabai. Akibatnya rasa saling curiga di antara ketiga pilar tersebut (orang tua, sekolah, masyarakat) menjadi hal yang sangat mungkin menggejala. Hal ini diperparah dengan kemandegan hasil pembahasan hanya ditingkat lembaga komite sekolah/majlis madrasah saja, tanpa sosialisasi secara merata dan komprehensif kepada pihak-pihak yang terkait.
Lalu, apabila menilik dari kasus yang terjadi di Solo tersebut, yang salah yang mana? Orang tua atau guru (sekolah)? Keduanya tidak bisa disalahkan. Karena yang menjadi pokok permasalahan bukanlah personal, tapi ketimpangan komunikasi antara sekolah dan orang tua atas proses pendidikan peserta didik. Di satu pihak guru (sekolah) menginginkan proses pendidikan yang terbaik di sekolah (dengan menegakkan peraturan semisal mencukur siswa gondrong) di pihak lain orang tua menginginkan kondisi terbaik bagi anaknya yang sudah disekolahkan (mendapatkan hasil yang baik, termasuk rambut yang rapi).
Untuk itu diperlukan langkah bijak dan strategis dengan menjalin pola komunikasi yang baik, berimbang dan bertanggung jawab antar anggota pendidikan (orang tua, sekolah, masyarakat, dan peserta didik), agar konflik yang tidak perlu seperti kasus di atas tidak terjadi dan pendidikan berjalan lebih baik.

Ingsun

mbantul, jogjakarta, Indonesia