Thursday, February 7, 2008

dongeng

Kenapa Bercerita (Mendongeng)?

“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik
dengan mewahyukan al-quran ini kepadamu…”
(Yusuf 12:3)


Muqadimah.
Jika Allah saja berkisah pada makhluknya, kenapa saya tidak? Masih ingat, apa saja cerita pengantar tidur yang sampai kepada anda saat masih kecil dulu? Jawabannya beragam, tapi bisa diambil rata-rata orang akan menjawab: masih ingat!
Selama itukah cerita mampu bertahan? Yap, ia akan bertahan ribuan tahun…
Kenapa musti bercerita?
Jawabnya karena manusia lebih mudah menerima kesan dari pada pesan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebagian dari kita (termasuk anak-anak) cenderung untuk ogah dikhotbahi dengan segunung nasehat. Melalui cerita, manusia diajarkan mencari hikmah tanpa merasa digurui. Bercerita ibarat kita curhat. Ada sebuah proses transfer emosi dari hati ke hati. Suasana seperti inilah yang akan membangun komunikasi berjalan sangat intim. Jika kita dekat, akrab dan saling berbagi, lalu apalagi yang mesti dikawatirkan?
Dengan bercerita, ada beberapa unsur luar biasa yang bisa kita dapatkan dalam pembangunan karakter dan kepribadian pendengar, antara lain:
sarana kontak batin antara pencerita dan pendengar, melatih imajinasi, mempertajam emosi, sarana pengetahuan bahasa, membantu proses identifikasi diri/perbuatan, media penyampai pesan/nilai-nilai tertentu, sebagai sarana hiburan dan pencegahan kejenuhan

Pada akhirnya,
Bercerita adalah salah satu metode pembelajaran yang efektif. Ia bekerja di wilayah rasa. Belajar dengan hikmah akan membawa petualangan lain bagi pembelajar untuk menempuh alam kesadarannya masing-masing tanpa diganggu oleh yang namanya keterpaksaan. Wa akhirnya; “Maka, ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al-A’rof 176)
Tanya : Lalu kenapa bercerita?
Jawab : Karena ada yang mau diceritai. Kalo tidak, tentu tidak usah bercerita.
Tanya : Tapi kenapa tetap bercerita meski tak ada yang meminta?
Jawab : Karena Tuhan maha mendengar semua cerita…

Kesatria Asu

Sore yang hujan. Tiba-tiba ada sms nongol di HP Motorola C168 silver saya.
"secangkir kopi dan beberapa iris daging kurban menunggumu, mereka mengajak kita memeluk Tuhan,"
"Ok!" balas saya singkat.
Hujan belum reda, tapi saya tetap akan menemuinya, Pakar Kesatria Asu. Saya sudah berjanji padanya lewat sms. Pantang bagi saya melanggar janji. Tapi kadang kalo lupa saya terpaksa tak bisa memenuhi. Namanya juga lupa. Lupa itu tak bisa dihukumi. Lupa itu mabok. Mabok itu rufi'al qolam.
Kembali ke Pakar Kesatria Asu sudah menunggu. Di sebelah tempat ia tinggal ada sebuah kolam yang merenggut salah satu fitnah dunianya; perempuan pertama dari darahnya. Dan semakin menjadilah kepakarannya.
Siapa sebenarnya Kesatria Asu?
Itu hanya istilah yang saya paksakan untuk dirinya. Disamping pakar Kesatria Asu, menurut saya ia termasuk juga dalam barisan Kesatria Asu itu. Hanya karena ia pernah bilang bahwa ia akan sama saja sebelum dan sesudah dibilang "Anjing, Kamu!". Karena baginya ada tingkat kita memaknai hidup berketuhanan. Dan kesatria Asu itu di tingkatan paling awal ataw paling rendah; yaitu ketika manusia melihat makhluk sebagai ayat, pertanda ke'adaan', implementasi dari sifat-sifat ketuhanan. Ketika melihat cewek cantik, ada di sebaliknya sifat Jamaliah Tuhan. Ketika melihat batu yang keras, ada di sebaliknya sifat jabbar-Nya.dan lain sebagainya.
"Jadi," kata dia, "Jikapun saya dikatakan anjing saya tidak akan marah, sebab di sebalik saya dan anjing itu ada Tuhan. Hahaha…," tawanya mulai menelusup di antara seribu suara binatang malam perswahan.
Di sebuah kelokan, seekor anjing menggonggong sambil komentar, "Manusia! Tak mau aku disamakan denganmu, yang hanya bisa menyulam kerusakan demi kerusakan, menjahit kehancuran demi kehancuran, mengukir kemungkaran demi kemungkaran, mengakibat bencana demi bencana. Akulah pentasbih abadi. Jika engkau ingin jadi kesatri Asu, bunuhlah kemanusiaanmu dan pakailah ke-asu-an diriku,"
Rupanya Sang Anjing Protes.
Kemanusiaan seseorang adalah 'kesalahan dan lupa'.
Keasuan anjing adalah ketidakbaikan anjing selaku binatang.
Meleburkan keduanya akan mencipta karakter makhluk yang sempurna.
Dan sesempurna-sempurna makhluk, kata Tarji,
"Takkan sampai sebatas Allah,"
Subhanallah…

Ingsun

mbantul, jogjakarta, Indonesia