Monday, February 4, 2008

Pak Harto; Mantan atau Masih Presiden?

Indonesia sedang berkabung. Seorang tokohnya telah berpulang. Haji Muhammad Soeharto meninggal dunia pada hari Ahad, 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan setelah dirawat intensif selama 24 hari oleh dokter kepresidenan yang berjumlah 40 orang.
Ada yang berduka, ada yang menghela nafas lega. Terlepas dari rasa suka atau tidak suka, dia adalah bekas orang nomor satu yang berkuasa selama 32 tahun di negeri ini yang jasanya bagi bangsa patut untuk dihargai. Sedangkan kesalahan-kesalahannya sudah seharusnyalah dipertanggungjawabkan.
Tulisan ini tidak akan membahas kontroversi klaim benar salah atas diri Jenderal Besar Purnawirawan ini, melainkan ada satu hal yang tak kalah menariknya untuk dibahas, yaitu tentang penggunaan kata ‘mantan’ sebelum kata ‘presiden’ yang melekat pada nama HM Soeharto.
Seseorang yang selesai bertugas menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut pensiunan. Orang yang pernah ditahan sebagai pesakitan di LP disebut bekas tahanan atau eks napi. Purna tugas anggota ABRI disebut purnawirawan. Demikian seterusnya. Lalu, bagaimana dengan kasus Pak Harto yang bekas Presiden? Kata apa yang pantas melekatinya?
***
Beberapa media massa lokal maupun nasional membentangkan istilah ‘Mantan Presiden RI’ atau ‘Presiden RI ke-2’ tanpa ‘mantan’ bagi Pak Harto. Kedua istilah yang digunakan tersebut tidak mengandung kesalahan. Pada frase pertama kata ‘Mantan’ menduduki posisi menerangkan untuk frase ‘Presiden RI’ yang berada dalam posisi diterangkan. Frase ini mengikuti bentuk menerangkan-diterangkan (MD). Penggunaan kata ‘mantan’ pada frase ini sudah tepat secara makna sebab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘mantan’ bermakna bekas, tidak lagi menjadi-, hal ini sesuai dengan kedudukan HM Soeharto yang sudah tidak menjabat presiden RI pada saat istilah itu digunakan.
Frase kedua, ‘Presiden RI’ menduduki posisi diterangkan dan ‘ke-2’ menduduki posisi menerangkan. Frase ‘Presiden RI ke-2’ mengikuti pola diterangkan-menerangkan (DM). Apabila frase ini diletakkan sebelum kata HM Soeharto, maka menjadi frase yang bermakna HM Soeharto adalah Presiden RI yang ke-2. Kalimat ini tidak salah, karena bagaimanapun HM Soeharto tetap Presiden RI yang ke-2. Dia tidak akan pernah menjadi presiden RI yang ke-3 atau yang ke- seterusnya. Seperti halnya Bung Karno, ia tetap akan menjadi presiden RI yang pertama.
Pertanyaan muncul, yang salah yang mana? Yang salah adalah apabila kata ‘mantan’ diletakkan pada frase ‘Presiden RI yang ke-2’ sehingga menjadi ‘mantan Presiden RI yang ke-2’. Pembuktiannya adalah, jika HM Soeharto adalah mantan presiden RI yang ke-2, maka harus ada penggantinya yaitu presiden RI yang ke-2 setelah HM Soeharto. Kenyataannya tidak demikian. Tidak ada presiden RI yang ke-2 selain Soeharto. Presiden RI yang ke-2 tetaplah Soeharto dan hanya dialah satu-satunya Presiden RI yang ke-2 di negara Republik Indonesia ini. Jadi salut buat Pak Harto yang meski telah tiada, ia tetap langgeng menjadi Presiden RI yang ke-2.
Frase yang lebih salah adalah ketika kata 'mantan' dihilangkan dari frase 'mantan presiden RI' sebab kenyataannya Soeharto sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI ketika frase itu. Yang menjadi presiden RI sekarang adalah DR. H. Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Jadi salut buat SBY berani mengganti HM Soeharto serta presiden-presiden yang lain menjadi orang nomor wahid di negeri 'sulit' ini. Tak sia-sia ia jadi presiden, kalo diperhatikan pada pidatonya di pemakaman Pak Harto, anda akan mendengar frase 'Jendral Besar Purnawirawan dan Presiden RI ke-2 HM Soeharto'. Frase ini juga digunakan oleh protokol upacara. Namun sayang, ketika acara doa yang dipimpin oleh Kepala Kanwil Depag Jawa Tengah, tiba-tiba rasa khusuk yang sempat saya rasakan berkurang gara-gara mendengar beliau membaca frase yang salah yaitu 'mantan presiden RI yang ke-2'. Ah sayang, jika saja tulisan doa yang dibacanya itu diedit dulu maka akan lebih baik jadinya. Mungkin Menteri Agama perlu menginstruksikan kepada stafnya agar mengadakan kursus bahasa Indonesia bagi para Kepala Kanwil dan seluruh jajarannya. Atau mungkin saya yang harus berhenti memperhatikan bahasa?
Pak Harto pernah menjadi presiden RI, sehingga dapat disebut mantan presiden RI. Kini ia telah berhenti jadi manusia hidup dan selanjutnya berprofesi sebagai manusia tidak hidup sehingga layak disebut ‘almarhum’ alias ‘mantan manusia hidup’. Seperti halnya Pak Harto, kita semua pun akan mengalami hal yang sama, menjadi ‘almarhum’ atau ‘almarhumah’ jadi mari kita mempersiapkan diri agar terhindar dari sindroma pasca hidup (siksa kubur yang pedih). Semoga Pak Harto ditempatkan di tempat yang paling tepat di sisi Tuhan. Amien.

No comments:

Ingsun

mbantul, jogjakarta, Indonesia