Saturday, February 9, 2008

Pilem

Dalam dunia pesantren, santri dan televisi seolah tidak bisa disatukan. Sejak jaman TVRI masih menguasai pasar pertelevisian, hingga sekarang yang marak tumbuh berkembang stasiun TV swasta, di sebagian besar pesantren yang masih memegangi tradisi salaf (tradisional) tidak pernah menjadikan televisi sebagai media yang pantas untuk diakrabi. Malah sebaliknya, ia –TV- seolah-olah sebuah kotak penjelmaan dari setan dan hawa nafsu yang harus dipantangi oleh para santri.
Hal ini bisa dimaklumi, karena tradisi yang dibangun pesantren adalah tradisi membaca (Quran, kitab kuning, dzikir, mujahadah), bukan tradisi melihat. Apalagi tidak bisa dipungkiri, program-program acara yang ditawarkan stasiun TV sebagian besar adalah program hiburan yang dalam kacamata pesantren, dianggap sebagai laghwun (kesia-siaan). Dan laghwun berarti dosa.
Nah, yang menjadi menarik kemudian adalah bagaimana tanggapan dunia pesantren jika program acara TV tersebut disuguhi dengan tema dunia pesantren sebagai citra yang religius dalam bentuk yang lebih khusus lagi yaitu film ataupun sinetron yang notabene dianggap laghwun tersebut?
Menurut Dedy Mizwar, (produser, sutradara, aktor, dan pemilik produktion house), pada bincang-bincang bareng redaktur LkiS di kantor redaksi, menghadirkan pesantren ke dalam bentuk audiovisual (terutama film/sinetron) dapat menjadi alternatif tontonan sekaligus tuntunan islam yang lebih membumi. Ia bisa menyegarkan susana di antara maraknya tontonan islami yang mengedepankan kekejaman dan penyikasaan atas nama agama (Azab dan siksa Tuhan). Ia menambahkan seandainya tontonan semacam itu dibiarkan mewabah, maka tidak menutup kemungkinan orang-orang akan lari daroi islam. “seandainya saya bukan orang islam mungkin saya akan berkomentar, wah, betapa kejam Tuhan umat islam!”
Hal senada diungkapkan pula oleh sutradara muda peraih piala citra 2006 untuk film Brownies, Hanung Bramantyo. Bahkan ia menambahkan bahwa pesantren masih dan akan selalu menawarkan nilai artistik tersendiri dan lain dari pada yang lain. “tapi memang, ini bener-bener proyek idealisme” komentarnya kemudian tanpa harus pesimistis. Karena memang dunia perfileman saat ini masih dikuasai kapitalisme akut.
Dengan tanggapan dan komentar positif dari para praktisi film tersebut, lalu bagaimana dunia pesantren menanggapainya?
“Bagus, saya mendukung, asal dunia pesantren ditunjukkan secara tepat,” begitu komentar Lora Faizi L. Kaelan, seorang Gus sekaligus seorang sastrawan dari pesantren Guluk-guluk Madura menanggapi. Menurutnya, dunia pesantren boleh dan bisa dieksprolasi oleh siapa saja tanpa kecuali asalkan dia benar-benar tahu tentang dunia yang unik dan komplek ini.
Para santri pun mengamini pendapat Gus itu. “bagus sekali, memanfaatkan TV sebagai media dakwah pesantren,” kata Fatkan Anis, santri PP nurul ummah kotagede asal porworejo yang sudah sejak kelas 4 SD mulai nyantri di 3 tempat ini berkomentar bahwa TV tidak bisa mengkover 100% kekayaan dunia pesantren, terutama aspek batiniyahnya. “kalo mau tahu sepenuhnya, ya harus masuk pesantren dulu!” lanjutnya promosi. (red: Setujuuuu!)
Melihat kondisi yang demikian kaya, selanjutnya yang menjadi permasalahan tentu saja siapakah yang harus turun tangan?
Sebagaimana kelaziman sebuah kultur dan komunitas, tentu menyimpan sisi negatif di samping sisi positif. Tentu saja hal ini kadang menjadi keresahan tersendiri bagi pesantren jika sisi negatifnya terlalu diekspos berlebih sementara nilai positif yang mendominasi malah dikesampingkan.
“wah, itu tak perlu ditakutkan, kang. Malah hal itu bisa menjadi otokritik bagi dunia pesantren untuk lebih maju lagi menuju kebaikan. Tapi yang perlu diingat, ya semuanya harus ditampilkan dengan proporsional tentunya,” kang anis yang punya cita-cita kuliah di UNY ini mengakhiri perbincangan.
Secara terpisah, Hj. Nyai Barokah, Pengasuh PP. Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta menyatakan bahwa Film-film di TV sekarang sering menampilkan kehidupan kaum perkotaan, dengan ekonimi kelas menengah ke atas. Hal tersebut kurang relevan dengan keadaan mayoritas penduduk di indonesia sehingga menimbulkan gaya hidup kurang pas. Masyarakat terpengaruh film dan bergaya hidup mewah. Menghalalkan segala cara untuk mencapainya.
Beliau juga menyatakan bahwa dalam membuat film pesantren biar para pekerja film yang membuatnya. Yang penting mereka harus tahu benar tentang kehidupan pesantren tidak mengada-ada dan bermisi positif atau dakwah.
Semoga film pesantren ke depan dapat diposisikan dalam keadaan yang proporsional bukan eksploitasi hiburan semata dan dapat menjadi media apik dalam memberikan tontonan yang menuntun arah bangsa ini lewat kebudayaan. Amien.

No comments:

Ingsun

mbantul, jogjakarta, Indonesia