Kisah tentang sahabatmu
; perempuan bermata coklat
engkau telah banyak berkisah tentang burung
yang hinggap pada segala daun
yang bersangkar pada setiap ingin
begitu fasih kau hafal setiap lembut bulunya
menghias jadi pelindung
meruapkan hikmah
dari jiwanya yang ketuban pecah
menguar harum keningnya
sisa sujud dan tawadhu’ yang khusu’
tiap sepertiga malam dan dhuha yang suntuk
“ia bersangkar pada kehendak
Tak beranjak hanya untuk reruntuhan
Yang berserak
; Debu di atas debu”
“Dirinya batu, dirinya mutiara
Dirinya hangat
Pada malamku yang tak ada selimut,”
Katamu berkisah tentang si burung
Yang memaksa bintang dan matahari berkunjung
Sekedar untuk menghibur
Di kala hatinya mendung
“diriku racun,” engkau berkesah
Sedang liurnya kau hirup sebagai penawar resah
Yang mengucur jauh dalam muara singgasana
Kemegahan cerita demi ceritamu
Tentang si burung lucu
Yang menyimpan wahyu
“suatu saat biar kau kuhampirkan
Pada sangkarnya yang tak pernah memenjara”
Katamu pada malam kesekian
Setelah lelah
Penantianku tak mengenal temu
Berharap kisahmu tentang perjumpaan kita saja yang sederhana
Dan memendam rindu
“hanya satu duri yang membuatnya percaya
Bahwa air mata memang seharusnya tumpah
Saat perihnya menikam gundah
Durinya, lelakinya”
Matamu menghujat, bibirmu merapat
Kau hunuskan seluruh keparat
untuk lelaki yang menikamkan duri pada sahabat
si burung yang terperangkap rasa, cinta, sekaligus laknat
sekali lagi aku menghela nafas
rasanya benar-benar takkan ada cerita
tentang tatap kita serupa pena
yang pernah bertemu kertas sejarah
dan mulai menuliskan kisah
bukan tentang burung
tapi tentang rahim kebisuan yang pernah kita tanami
ruh majnun
Ah, sayang kau tak pernah tahu.
Ketika itu, ruh laela kuarung di bening danau matamu
“mas, lihatlah ke angkasa, burung itu menukik kemari
Rentangkan tanganmu
Biar ia meredam tikam di hangat cintamu
Engkaulah lelaki yang sempurna
Tuk menyeka air matanya”
Aku menatap angkasa
Tapi langit serupa danau
Tak kulihat burung atau apapun
Selain ruh laela dalam bening mata
Sayang, kau tak pernah ingin aku berkisah
Tentang danau di coklat matamu
di mana aku ingin melarungkan hati
Menemu laela-ku lagi
Yang jujur yang tak menikamkan kebohongan
Pada diri sendiri
Kotagede, 03 Mei 2007
; perempuan bermata coklat
engkau telah banyak berkisah tentang burung
yang hinggap pada segala daun
yang bersangkar pada setiap ingin
begitu fasih kau hafal setiap lembut bulunya
menghias jadi pelindung
meruapkan hikmah
dari jiwanya yang ketuban pecah
menguar harum keningnya
sisa sujud dan tawadhu’ yang khusu’
tiap sepertiga malam dan dhuha yang suntuk
“ia bersangkar pada kehendak
Tak beranjak hanya untuk reruntuhan
Yang berserak
; Debu di atas debu”
“Dirinya batu, dirinya mutiara
Dirinya hangat
Pada malamku yang tak ada selimut,”
Katamu berkisah tentang si burung
Yang memaksa bintang dan matahari berkunjung
Sekedar untuk menghibur
Di kala hatinya mendung
“diriku racun,” engkau berkesah
Sedang liurnya kau hirup sebagai penawar resah
Yang mengucur jauh dalam muara singgasana
Kemegahan cerita demi ceritamu
Tentang si burung lucu
Yang menyimpan wahyu
“suatu saat biar kau kuhampirkan
Pada sangkarnya yang tak pernah memenjara”
Katamu pada malam kesekian
Setelah lelah
Penantianku tak mengenal temu
Berharap kisahmu tentang perjumpaan kita saja yang sederhana
Dan memendam rindu
“hanya satu duri yang membuatnya percaya
Bahwa air mata memang seharusnya tumpah
Saat perihnya menikam gundah
Durinya, lelakinya”
Matamu menghujat, bibirmu merapat
Kau hunuskan seluruh keparat
untuk lelaki yang menikamkan duri pada sahabat
si burung yang terperangkap rasa, cinta, sekaligus laknat
sekali lagi aku menghela nafas
rasanya benar-benar takkan ada cerita
tentang tatap kita serupa pena
yang pernah bertemu kertas sejarah
dan mulai menuliskan kisah
bukan tentang burung
tapi tentang rahim kebisuan yang pernah kita tanami
ruh majnun
Ah, sayang kau tak pernah tahu.
Ketika itu, ruh laela kuarung di bening danau matamu
“mas, lihatlah ke angkasa, burung itu menukik kemari
Rentangkan tanganmu
Biar ia meredam tikam di hangat cintamu
Engkaulah lelaki yang sempurna
Tuk menyeka air matanya”
Aku menatap angkasa
Tapi langit serupa danau
Tak kulihat burung atau apapun
Selain ruh laela dalam bening mata
Sayang, kau tak pernah ingin aku berkisah
Tentang danau di coklat matamu
di mana aku ingin melarungkan hati
Menemu laela-ku lagi
Yang jujur yang tak menikamkan kebohongan
Pada diri sendiri
Kotagede, 03 Mei 2007
No comments:
Post a Comment