Wednesday, March 26, 2008

- BENDERA -
sebuah naskah surealis

Setting: tempat upacara
Pemain: Protokol, Inspektur, Ajudan Kanan, Ajudan Kiri, Komandan, Pengibar Tngah, Pengibar Kanan, Pengibar Kiri

Komandan : (masuk ke tengah panggung) Istirahat di tempat, grak!
Protokol : Inspektur upacara memasuki tempat upacara
Komandan : siap grak!
Inspektur : (memasuki tempat upacara dikawal dua orang Ajudan. Lalu berdiri di atas podium. Badannya bongkok kelebihan lemak di perut. Ia tak lagi bisa berdiri dengan tegak. Tidak ada yang bisa melupakan senyum khas Tuan Inspektur.)
Komandan : kepada, inspektur upacara, hormat senjata, grak!
Instruktur : (membalas hormat)
Komandan : Tegak senjata, grak!
Protokol : Pengibaran sang merah putih, hadirin dimohon berdiri.
P. Tengah : (menyiapkan tim) Siap, grak! Lencang kanan-kiri, grak! Tegak, grak! Maju… jalan! (Pengibar bendera berbaris rapi menuju tiang bendera.)
P. Tengah : Berhenti, grak! (berhenti tepat beberapa langkah di depan tiang bendera.) siap, grak! Lencang kanan-kiri, grak! Tegak, grak! Maju satu langkah ke depan, jalan! Hadap kanan-kiri, grak!
P. Kanan : (membuka tali dan memasangkan bendera)
Protokol : (masuk ke panggung. Para pemain lain mematung) Hari ini adalah ulang tahun kemerdekaan Negeri Merah Putih yang ke satu juta. Untuk itu perlu adanya rutinitas kenegaraan berupa upacara bendera. Betapa banyak sudah darah yang tumpah. Harta benda jadi musnah dikeruk penjajah. Harga diri hilang digasak atau tiba-tiba dengan sendirinya jadi rebah. Arwah para pejuang turut menyaksikan upacara ini dengan isak tangis kenangan. Ada yang mengenang masa perlawanan, tapi lebih banyak yang menangis karena menyaksikan penerus mereka yang kini tak bisa lagi membedakan arti penjajah, dijajah, dan terjajah. Semuanya kabur seperti halnya pagi ini ketika semua tiba-tiba menjadi kabur.
Pada saat pertama, para hadirin semua pada melongo. Pada saat kedua mereka sama-sama menutup mulut dengan kedua tangan. Pada saat ketiga, ributlah mereka seperti gemuruh tawon yang menyusun rumah. Arwah para pejuang hening. Mereka teringat jaman dahulu ketika pengorbanan itu bertujuan satu; menegakkan sang merah putih di atas tanah air ini. Betapa besar korban yang harus dijatuhkan demi untuk merah dan putih, namun pada hari ini entah mengapa tiba-tiba seperti ada pengejekan luar biasa pada diri mereka; arwah para pejuang. Bendera yang semula akan dikibarkan, entah kenapa begitu dibuka….
P. Kanan : (membuka bendera. Warnanya putih semua. Kaget. Lalu pingsan. Pengibar yang lain diam bingung.)
Inspektur : (matanya melotot. marah) mana warna merahnya? Cepat ganti bendera! Memalukan!
Ajudan Kanan: (meraih HT-nya. menghubungi protokol.) tenangkan keadaan!
Protokol : (menganggkat HT. mengangguk-angguk. Gugup. Bingung.) Hadirin dimohon tetap tenang.
Komandan : (Secepat kilat menyerahkan bendera pengganti pada petugas pengibar bendera. Sebelumnya membangunkan dari pingsannya.)
P. Kanan : (mulai memasang bendera dan membuka lagi. Putih-putih)
Protokol : Lagi-lagi bendera kehilangan warna merahnya. Kedua kalinya Inspektur marah. Dicarilah bendera yang berwarna merah dan putih di seluruh Negeri Merah Putih. Tapi sayang, seluruh bendera tinggal warna putihnya. Tuan Inspektur berang.
Inspektur : (bilang pada ajudan kiri) ajudan, bilang pada Pejabat Urusan Dalam Negeri, dengan bagaimanapun caranya, cari kain merah putih, pokoknya berwarna merah putih, cepat!
Ajudan kiri : (berlari keluar panggung dan masuk ke panggung lagi) Maaf, tuan inspektur, kata Pejabat Urusan Dalam Negeri, seluruh warna bernama merah telah lenyap dari muka bumi Negeri Merah Putih.
Inspektur : Goblok! (mukanya merah. Ia pukul-pukul kepalanya sendiri.)
Kedua Ajudan: (mencoba mencegahnya.)
Inspektur : Ajudan, instruksikan pada Pejabat Urusan Luar Negeri untuk mencari merah putih di luar negeri!
Ajudan kanan : maaf tuan, barusan Pejabat Urusan luar negeri sms, (menunjukkan sms) seluruh negeri di dunia tak lagi punya warna merah.
Inspektur : Goblok! Goblok! Goblok!
Ajudan Kiri : ada sms dari Pejabat Urusan Kehewanan, katanya ia punya ide untuk menyembelih hewan dan mengumpulkan darahnya untuk dijadikan pewarna merah. Bagaimana tuan?
Inspektur : Ok! Cepat laksanakan, goblok!
Protokol : Tanpa pertimbangan apa-apa, disetujuilah ide itu dan dengan segera Pejabat Urusan Dalam Negeri memberi instruksi untuk menyembelih beberapa kambing. Darah merah memang mengucur, tapi setelah itu yang ada hanya kesia-siaan, darah itu mengental dan berubah menjadi hitam. Tak kehilangan akal, disembelihlah hewan-hewan lain, mulai dari nyamuk, ikan, buaya, ular, komodo, jerapah, macan dan segala macam hewan yang hidup di seluruh Negeri Merah Putih. Dan nol hasilnya. Darah akan segera kering dan berubah menjadi hitam. Tak lagi ia bisa dicairkan dan digunakan. Padahal, seluruh hewan telah habis disembelih oleh Pejabat kehewanan.
Inspektur : Kita adakan sidang terbatas.
Protokol : Digelarlah sidang istimewa mendadak di ruang khusus. Dalam kondisi serba sulit seperti ini, bak pahlawan kesiangan, Pejabat Urusan Kesehatan muncul dengan idenya menggunakan darah manusia.
(divisualkan dalam bentuk film dalam layar projektor)
Pejabat urusan kemanusiaan: “Gila, mau menyembelih manusia?”
Pejabat Urusan Kebudayaan dan Pejabat Urusan Keagamaan: “Tak bisa dilanjutkan,”
Pejabat urusan kemanusiaan: “Maksud saya, kita bukan menyembelih manusia, tapi sekedar menggunakan darahnya, kita ambil darahnya saja. Perintahkan agar setiap manusia yang mempunyai darah merah mendonorkan darahnya untuk kepentingan merah putih. Yang darah putih dan biru seperti kita ini tidak perlu,”
Inspektur : Setuju! (terdengar suaranya saja)
Protokol : lalu, dicarilah darah merah. Dan karena persediaan darah merah di rumah sakit, maupun Palang Merah Merah Putih (PMMP) habis, akhirnya wajib donor pun dilakukan. Seluruh rakyat yang berdarah merah antri di puskesmas, rumah sakit, Palang Merah Merah Putih (PMMP) maupun tempat-tempat yang khusus untuk mendonorkan darahnya. Sedangkan rakyat yang berdarah biru boleh menjadi penonton. Walhasil, nihil. Darah rakyat itu telah menjadi putih. Terlalu sering mereka wajib donor, dan sisanya hanyalah dalah putih. Kebutuhan gisi sehabis donor tak ada yang memperhatikan.
Frustasi, depresi, dan stres. Para pejabat Negeri Merah Putih sedang mengalami titik jenuh keputusasaan. Negeri Merah putih adalah negara mereka. Jika warna merah hilang, maka hancurlah negara. Mereka menatap meja pertemuan dengan kekosongan, masih ingat ketika mereka mendengar penjelasan dari guru sejarah, bahwa pengorbanan para pahlawan kemerdekaan sangatlah tak terbayarkan demi warna merah berani dan putih suci. Para pahlawan sangat faham bahwa hanya dengan keberanian menjadi bangsa dan kesucian hati berilahilah bangsa dapat berkibar di angkasa. Teori itu mereka hafal di luar kepala. Karena sewaktu tes masuk anggota kepejabatan, hal itu diujikan secara lisan maupun tulis. Untuk ujian praktek sengaja ditiadakan karena pasti semua akan gugur.
Meja itu kosong, seperti tatapan mereka. Bukan pada saat itu saja namun telah begitu sejak generasi pendahulu mereka. Sepetinya semua pintu menuju titik terang telah tertutup. Sidang pejabat terbatas tersebut mengalami kebuntuan.
(film)
Pejabat urusan kemanusiaan:
“Bagaimana dengan kita? Apakah kita perlu mendonorkan darah kita? Siapa tahu darah kita berwarna merah?”
Pejabat Urusan Kebudayaan: “Itu terserah kalian, tapi secara pribadi saya menolak, wong saya itu harus cuci darah sehari sekali kok diminta donor. Ya matek saya,”
Pejabat Urusan Keagamaan: “Benar, meski saya tahu, tadi pagi gusi saya berdarah dan darahnya berwarna merah, tapi saya enggan mendonor. Kondisi saya sama dengan anda-anda sekalian, harus cuci darah sehari sekali,”
Diputuskanlah para pejabat itu tak mendonorkan darahnya meski diketahui warna darah mereka merah. Dan ditambah lagi bahwa perlu diumumkan bahwa darah mereka biru.
Inspektur : Lalu kita harus bagaimana?
Protokol : Tuan Inspektur benar-benar ciut nyalinya. Pejabat Urusan Kriminalitas tiba-tiba mengacungkan tangan. Mukanya cerah. Sepertinya ia punya ide brillian.
(film)
Pejabat Urusan Kriminalitas:
“Kemarin saya meninjau daerah konflik. Dan saya masih melihat darah segar di sana terbuang sia-sia. Mungkin inilah saatnya kita membuatnya jadi berguna,”
Inspektur: Tolong lebih diperjelas!
Pejabat Urusan Kriminalitas: “Jadi kita kobarkan lagi semangat peperangan saudara di antara meraka dan tunggu saat mereka mencecerkan darah lawan. Lalu kita kumpulkan darah itu, bagaimana?”
Pejabat Urusan Kemanusiaan: “Apa tidak ada cara yang lebih manusiawi?”
Protokol : Semua hanya geleng-geleng kepala. Tak lama kemudian. Keputusan telah bulat. Pembantaian di Negeri Merah Putih telah menjadi seperti wabah penyakit. Cepat menular. Pertikaian di mana-mana. Pembunuhan terjadi di setiap kesempatan. Semua pegang golok, pedang, keris, pistol, senapan, garpu, sendok, silet maupun senjata yang segera dapat mengucurkan darah segar. Sudah ada penadah untuk darah-darah itu. Dan seperti kebiasaan perdagangan, para penadah itulah yang menikmati untung paling besar. Setelah darah-darah itu terkumpul berbarel-berel, barulah diusung ke ibu kota.
Inspektur : Apa? Tak bisa di cairkan lagi? (suaranya saja)
Ajudan : Tak bisa Tuan, darah yang kering itu sudah tak berguna lagi. (suaranya saja)
Protokol : Padahal sudah jutaan penduduk negeri merah putih dikorbankan untuk mengumpulkan darahnya, tapi lagi-lagi. Nol besar. Darah itu terbuang lebih sia-sia lagi. Hanya lalat yang kini memanfaatkannya.
Di saat seperti inilah dibutuhkan peri penolong yang akan menjumput tangan-tangan terkapar dan menitahnya ke alam pencerahan. Muncullah diplomat dari Negeri Warna-Warni yang datang menawarkan cahaya.
Diplomat Negeri Warna-Warni : Jadi kondisinya seperti demikian.
Inspektur : Apa tidak bisa diturunkan lagi?
Diplomat Negeri Warna-Warni : “Tidak, itu harga yang harus kalian bayar untuk sebuah kebesaran Negeri Merah Putih,”
Inspektur : Ok, aku setuju (masuk panggung bareng ajudan)
Protokol : Tanpa minta pendapat lagi, Tuan Inspektur menyetujui harga untuk warna merah dari diplomat Negeri Warna-Warni. Bersoraklah seluruh warga negeri, akhirnya upacara segera bisa dilanjutkan meski hanya dihadiri para pejabat saja. Karena seluruh rakyat sudah habis saling bantai untuk proyek darah yang sia-sia itu. Pengibaran sang merah putih, hadirin dimohon berdiri.
Komandan : (membawa bendera merah putih dan menyerahkannya pada pengibar bendera)
P. Kanan : (menali dan siap) bendera siap!
Komandan : kepada sang merah putih, hormat senjata… grak!
Semua :
(bernyanyi)
Hiduplah negri merah putih,
Merah putih, tanah airku tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku
Merah putih kebangsaanku, bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru merah putih bersatu
Dst…
Protokol : Dikibarkanlah sang merah putih dengan perkasa dan dada membusung para pejabat. Bibir mereka pada waktu itu merekah. Tapi entah bagaimana, wajah mereka murung dan kusut. Seperti tak ada harapan. Bendera terus saja merangkak naik. Angin tiba-tiba kencang menerpa. Bendera melambai-lambaikan tangannya. Bukan, ia bukan merayakan pengibarannya tapi seolah minta tolong dan melolong. Tangan-tangannya menggapai-gapai. Ia ingin lepas dari tali kekangnya. Dan sampailah pada pertengahan tiang, ia berhasil meloloskan diri dan terbang bersama angin tornado yang memporandakan negeri itu. Arwah para pejuang yang menolong dan membawanya lari. Ia kini melayang bersama arwah para pejuang dan kembali ke masa lalu.
Suara : Priiit…! (suara peluit. Suara tank tempur. Suara penyerbuan)
Suara : perhatian-perhatian, sekarang batas akhir pembayaran warna merah, untuk itu silahkan seluruh penduduk negeri merah putih meninggalkan tanah dan airnya karena segara akan diambil alih oleh negri warna warni…
(para pemain meninggalkan panggung seperti orang terusir)
Protokol : Tepat seperti kesepakatan, pada saat bendera berada di setengah tiangnya, Negeri Warna-Warni berhak penuh atas seluruh tanah dan seluruh air yang berada di Negeri Merah Putih sebagai bayaran atas warna merah yang mereka berikan. Ya, sebagai bayaran atas kesepakatan Sidang Pejabat Terbatas. Untung makhluk yang ada di Negeri Merah Putih telah musnah, kalo tidak, mereka akan begitu kebingungan mencari tempat tinggal dan sumber pangan. Tinggal para pejabatnya saja yang hidup, dan mereka harus membayar dobel, pertama, membayar uang sewa tanah dan air. Kedua, uang cuci darah. Dan ketiga, uang pemakaman untuk harga diri mereka.
Hei semua pada bangun! (semua pemain bangun dari tidur) waktu untuk mimpi buruk sudah habis! sekarang waktunya upacara bendera!
(pengibar bendera menuju tiang bendera bersiap mengibarkan bendera merah putih)
pengibar: bendera siap!
Komandan: Kepada sang merah putih, hormat senjata, Grak!
Seluruh pemain : (dilagukan) hiduplah indonesia raya… (sampai rampung)

Tamat
Kotagede, 100807-250308

1 comment:

Horizones.id said...

Mas Zacky kog sekarang berbeda ama pas weaktu muda doeloe...... kabar baikah ya akhi...?

saudara muslim anda

Abdul Wahid

Ingsun

mbantul, jogjakarta, Indonesia