Tuesday, February 26, 2008

Amanat

Sebagai abahnya aku sangat mengerti kondisi batinnya. Aku sangat tahu Nila itu seperti apa. Si kecil di pangkuanku yang kini harus kembali ke pangkuan. Dibelai dan ditunjukkan bagaimana cara mengusap ingus. Ia harus segera menikah. Meski bisa dipastikan ia tak akan mau jika aku hanya sekedar menawari. Harus ada sedikit paksaan agar ia benar-benar mau. Menikah baginya tentu teramat berat. Apalagi ia kadung menyerahkan ruhnya pada almaghfurlah kyai Abas. Padahal sebenarnya ia belum tahu sepenuhnya siapa kyai agung Abas itu.
------------
Aku benar-benar tak akan menikah lagi. Ini keputusan final. Pada setiap kesempatan aku bertemu sanak kenalan, santri-santri senior, alumnus, bahkan para kyai sepuh. Aku selalu menyatakan tidak untuk menikah lagi. Bagaimana mau menikah, almaghfurlah hampir setiap hari masih menemani dalam mimpi-mimpiku. Menjadi pembimbing bagi ruhku. Belum lagi bagaimana aku harus menjelaskan pada Nashir, putra pewaris tahta. Meski beban yang harus ku tanggung begitu berat. Walau dukungan Abah untuk menikah lagi setiap saat aku pulang selalu meningkat bahkan hampir pada tahap mendesak. Keputusan final adalah: tidak.
------------
Ibu masih terus menghubungiku. Dan aku tak biasa memberikan apa-apa kecuali sekedar selalu berpesan agar ibu sering-sering ziarah ke makam bapak. Aku tahu siapa kakek. Terkadang, bahkan sering, ia tiba-tiba membuat keputusan yang tak masuk di akal. Dan kadang, bahkan sering pula, hikmahnya baru datang belakangan. Setelah terjadi gejolak, barulah badai laut pun jadi setenang danau. Tapi untuk mendukung atau menolak perjodohan itu, aku sebagai anaknya tak bisa apa-apa. Meski ketika kukedepankan emosi, aku tetap tegas menyatakan: tak rela.
----------------
“Boyong! Pokoknya kalo sampai Ibu Nyai Nila nikah lagi aku akan boyong.”
“Sama Kang Tohir. Aku juga,”
“Aku tak kuasa melihat orang lain di samping Bu Nyai Nila kecuali Kyai Abas. Aku tak rela,”
“Sama Kang Tohir, aku juga tak rela. Apalagi calonnya lebih muda dari kita. Masak manggilnya Dek Kyai,”
“Sebagai santri senior, yang sudah kepincut dengan Kyai Abas, aku tak mungkin pindah ke lain hati. Sekali Kyai Abas, tetap beliaulah guruku, bukan yang laen,”
“Sama, Kang Toh…”
“Sama, sama… ndak kreatif kamu, Jo, Tejo…!”
“Sama, Kang,”
“Husss…”
---------------
Aku bisa merasakan gejolak dalam diri para santriku. Apalagi yang sudah senior-senior seperti Tohir, Sugi, Tejo dan lainnya . Aku tahu bahwa kyai, guru, dan bahkan bapak mereka adalah Mas Abas. Dan sebenarnya aku pun begitu. Belum lagi janjiku pada mereka bahwa aku benar-benar tak punya keinginan untuk tazawwuj lagi. Pada saat-saat tertentu kadang aku berpesan agar mereka mengingatkan aku jika suatu saat aku teledor dan memutuskan menikah lagi. Tapi untuk keputusan ini aku tak main-main. Ini memang bener-benar keinginanku. Kemauanku untuk bersuami lagi.
--------------------
Kalo tidak dipaksa demikian, Nila tak mungkin mau. Tangan besi bukan berarti membunuh. Tapi ketegasan yang lebih baik. Sebenarnya aku tak begitu tega ketika mengacuhkannya seperti beberapa bulan kemarin. Aku telah membuatnya asing di rumahnya sendiri. Setiap pulang ke sini ia selalu kubiarkan teronggok seperti angin. Hampa dan tiada. Sepertinya ia tambah menderita saja. Namun merusak urusan kecil demi menyelamatkan yang lebih besar adalah jalan yang lebih tepat. Dari pada terus menerus aku selalu mendapati dirinya berkesah tentang keadaannya yang ringkih sepeninggal Abas. Ngasuh pesantren dengan ratusan santri yang tidaklah mudah. Apalagi sendiri tanpa kekasih yang bisa diajak berkesah. Siapapun akan segera rapuh. Dan bagi seorang perempuan di dunia laki-laki ini, fitnah tentu akan mudah dihembuskan. Apalagi ia tinggal di rumah itu sendiri tanpa putra. Nashir, putra satu-satunya, masih harus di kudus merampungkan qurannya. Ia tentu akan baik-baik saja di sana. Aku akan menanganinya.
----------------------
Aku tak bisa apa-apa. Toh aku bukan benar-benar darah dagingnya. Meski seharusnya akulah yang akan menjadi pengasuh setelah rampung quranku di kudus ini, aku tetap tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan kalau boleh jujur, sebenarnya aku rela-rela saja jika kepengasuhanku diambil alih. Menjadi kyai tak semudah menjadi pejabat. Jika laknat Tuhan sendiri yang turun tangan lewat bencana dengan menjadikan umatnya semakin bejat. Dan aku bukan apa-apa dibanding Almarhum Bapak, kyai alim alamah Abas Abdullah. Beliau terlalu arif, bijak, dan cerdas luar biasa. Kiranya aku tak pantas menggantikan posisi beliau. Apalagi aku telah punya Tiara.
---------------------
“Lalu wasiat itu bagaimana, Kang Tohir?”
“Kita harus mengiringnya. Aku termasuk salah satu yang jadi saksi waktu itu, dan salah satu bunyi wasiat itu adalah bahwa Gus Nashir lah yang bakal meneruskan tampuk kepengasuhan pesantren ini. Bukan orang laen,”
“Tapi kapan Gus Nashir pulang dari Kudus,”
“Ya kalo beliau sudah siap, Jo,”
“Kapan siapnya, Kang?”
“Ya tanya sendiri sama Gus Nashir,”
“Piye tho?”
Diam.
“Yang menjadi kekawatiranku dan banyak para alumnus, paska perkawinan ini, mau dibawa ke mana pesantren ini. Otomatis suami Bu Nyai, kan ya jadi kyai juga. Jadi pengasuh. Apalagi nanti kalo dari perkawinan ini melahirkan putra. Tambah ruwet lagi tho. Pokoknya kita harus mengiring wasiat Almaghfurlah,”
***
Aku hanya punya satu modal. Sami’na wa atho’na pada Kyai Lukman. Bagiku hidup dan mati ini sudah ku pasrahkan pada nasab guru agungku, Kyai Lukman. Semenjak lulus SD aku telah tahu bahwa Kyai Lukman-lah yang patut jadi panutan dunia akhirat. Ia benar-benar pewaris nabi. Ulama’ yang arifnya tak tertandingi. Dan aku turut pada titahnya. Meski aku tak pernah tahu siapa Nyai Nila. Meski aku juga belum tahu seagung apa Kyai Abas Abdullah semasa hidupnya. Yang aku tahu aku menurut pada kerso Kyaiku, Saykh Lukman. Bahkan kutinggalkan tunanganku, Dek Isti, demi ta’dzimku pada kyai. Itu saja modalku: keta’dziman. Oh Dek Isti, maafkan Mas Saiful-mu ini. Semoga ini yang lebih baik.
------------
Apa sih yang mereka takutkan? Masalah wasiat? Kalo masalah itu aku pun tak pernah main-main. Wasiat adalah amanat. Dan amanat yang tak ditepati akan jadi api yang membakar di neraka nanti. Ustadz Saiful itu bukan siapa-siapa. Ia bukan darah biru, putih, atau apapun. Ia bukan berasal dari keturunan kyai manapun. Ia benar-benar orang biasa. Beda dengan Kyai Darul, Pak Muzayyin, Ustadz Damanhuri, atau calon-calon lain yang ditawarkan abah. Dan aku memilihnya karena hal itu. Karena keta’dzimannya pada gurunya Kyai Lukman, pada agama. Pada umat yang taat seperti dialah aku patut taat.
------------
Sekali lagi aku tak bisa memberi apa-apa. Bahkan sekedar saran. Apalah aku ini. Nashir malang yang tidak punya sesiapa sanak saudara lalu tiba-tiba menerima anugrah cinta dan kasih sayang ibu bapak yang mengasuhku selayak jantung hati hingga derajatku naik. Kurang bersyukur apa aku jika tak tahu terima kasih dengan menolak rencana pernikahan ibu. Kemarin aku terus terusan mengulur waktu pernikahanku dengan Ning Sa’adah. Putra Kyai Rijal Abdullah, adik Bapak. Perjodohan yang akan mengembalikan tampuk kepengasuhan pesantren pada bani Abdullah. Aku tahu, ibu dan juga kakek tentu sudah tahu kenapa aku tak segera merampungkan quranku. Aku memang mengulur waktu perjodohan itu. Karena aku punya Tiara. Dia bukan apa-apa. Tapi aku kadung mencinta. Oh, ibu, kakek, masalah itu belum selesai kini kenapa engkau tambah membuatku semakin keruh?
***
Aku akan segera menikah. Sebagai anak yang berbakti, apalagi yang menjadi kepuasan lahir batin jika bukan membuat hati orang tua menjadi bahagia? Aku tak kuasa mendengar abah berkata-kata yang membuat semakin lara. Aku ambruk dan semakin teruk jika membiarkan diri sendiri termakan janji yang sebenarnya tak pernah diwajibkan agama. Mewajibkan suatu yang tak wajib adalah dosa. Tapi sebelumnya, aku harus bertanya untuk yang terakhir kali pada Nashir. Relakah ia pada pernikahan ini.
----------------
Dan pada akhirnya aku mengangguk. Hari itu tangis ibu begitu suntuk dan aku tak mengharap hal yang sama terulang untuk yang lebih dahsyat. Aku menyatakan iya untuk pertanyaan yang lebih mirip sebuah hibaan itu. Kali ini aku ingin membuatmu tersenyum, Bu. Setelah banyak kali aku menjadi mendung bagi hari-harimu.
----------------
“Pernikahan jadi dilangsungkan. Dan kini aku tak begitu kawatir lagi, Jo. Semua akan baik-baik saja,”
“Kok bisa, Kang Tohir?”
“Karena setelah pernikahan Gus Nashir dengan Ning Sa’adah, beliaulah yang kemudian akan menjadi pengasuh. Almaghfurlah tak akan kecewa melihatku. Salah satu saksi penanda tanganan wasiat. Pesantren akan tetap diasuh oleh Bani Abdullah,”
“Lha terus Ustadz Saiful?”
“Beliau dan Bu Nyai akan mengasuh pondok putri. Dan pengasuh utama tetap Gus Nashir. Beres tho, Jo?”
“Beres, Kang Tohir!”
***
Setelah pernikahan Gus Nashir dan Ning Sa’adah, pesantren Al-Rahmah kembali mengalir tenang. Gejolak telah habis bersama hikmah yang dapat diambil setiap insan yang bergelut dengan praduga. Emosi yang mengedepan memang membunuh akal sehat. Dan sebulan kemudian, giliran Bu Nyai menikah dengan Ustadz Saiful. Pada hari itu tak satupun merasa berat menyaksikan mereka bersanding. Karena seolah-olah mereka melihat pesona Kyai Abas menguar dari aura Ustadz Saiful. Mereka takjub.
***
Pernikahan berlangsung tanpa gejolak. Tepat seperti pertanda dalam mimpi itu. Sehabis mendung, ada cahaya terang memancar dari balik gunung. Allah, engkaulah Sang Agung. Istikhorohku sungguh kau jawab dengan anggun. Aku bisa membendung segala tangis dan kesah Nila, putri kesayanganku. Dan aku juga bisa mengembalikan Nashir pada jalannya menuntut ilmu dan takdir pengabdiannya pada agama. Untuk selanjutnya, biarkan aku memeluk-Mu dengan khusuk. Biarkan aku istirah dari bising dunia yang penuh emosi dan semakin tak menghiraukan hati nurani dan akal sehat ini gusti. Ijinkan aku mencium kaki-Mu. Lalu izinkan aku menemui Kyai Abas. Ia sepertinya memanggilku. Kulihat tangannya telah merentang untuk memelukku. Dan aku akan segera berbisik padanya bahwa amanat yang belum sempat ia wasiatkan dulu, kini telah aku lakukan. Nila telah menikah lagi. Ashadualla ilaha illallah wa ashadu anna muhammadar-rosulullah….
Kotagede, 15/01 – 03/02/07

1 comment:

Anonymous said...

keren Gan! Karya yang bagus. You'r the man...

Ingsun

mbantul, jogjakarta, Indonesia