Saturday, June 6, 2009

suhar: catatan santri anyar

ini hutan pertama yang akan kusinggahi. entah di mana kang jaledeng dan kang abdurrahman. mungkin mereka sudah sampai kebanyak tempat. sedang aku baru sampai satu tempat saja. maklum, mencari hutan di indonesia sekarang sulit luar biasa. banyak yang sudah gundul entah ducukur siapa.
kami berpisah dengan damai di ujung sore. saling bertukar cendera mata; bekal masing-masing milik kami.
kubuka bungkusan sarung milik Jaledeng. ini kali pertama aku akan tahu apakah isinya.
1. sarung pudar warna entah putih atau kuning. dan ngeper
2. kaos jupiter ada bolong dua tempat deket leher. warna entah putih entah kuning
3. salep 88
4. sandal selen.
tak ada yang istimewa. 1 dan 2 seperti kebanyakan santri lainnya. 3 juga, ia santri modern, memilih mengobati gasebo-nya (ga-ruk-garuk se-kitar bo-kong) dengan salep dari pada membiarkannya menjadi melodi paling enak ketika digenjreng tangan penggitar. 4? hmmm? ketika berpisah kulihat ia memakai sandal dengan komposisi yang sama. mungkin hmmm... biar tak di ghosob? ah siapa pula yang sudi, toh bagian tumitnya sudah habis tipis.
***
sehabis mandi di sungai hutan tak bernama, kuganti bajuku dengan milik kang Jaledeng. aku kangen ia. santri senior yang menurutku unik. salah satu santri dari sedikit santri yang aku kenal di pesantren. maklum aku memang anyar di pesantren al-ganduli itu. aku tinggal baru tiga hari dan memang cuma tiga hari itu. sebab setelahnya kiai segera mengutusku mencari Mutiara Mahdzuf menemani kang Jaledeng dan kang Abdurrahman.
"sekarang kamu makan baceman daging ini," kata kang Jaledeng serius menatapku tak putus.
"terima kasih, kang,"
segera ku santap saja makanan. ia diam. ada sesuatu yang ditahan. kupilih daging diiris kecil2 itu. ah, kenapa daging di sini berasa aneh dan alot?
kulirik kang Jaledeng. senyum tipis setipis kumisnya yang lele.
kukunyah lebih cepat langsung kutelan saja. sungguh alot. aku berhasil membuat perutku kembung dengan makanan kang Jaledeng. sehabis muntah-muntah di kulah, baru ku sadari, sendal swalow-ku hilang satu. tinggal trampatnya saja.
aha, pelajaran pertama, hati-hati dengan makanan kang Jaledeng.
untung di bungkusan sarung bekal kang jaledeng ini tak ada makanan. aku aman. kini kuayun langkah menuju hutan lebih tengah. hutan tak bernama semakin gelap dan suram. sebab matahari semakin angslup keujung cakrawala.
kucari dimana Mutiara Mahdzuf itu? aku berhenti. melihat monyet mulai memerhati. entah kenapa aku kembali teringat kang Jaledeng ada sesuatu yang mirip. kadang ingatan manusia bercampur dalam rangkaian kaitan terpaksa. apa mungkin aku bertanya padanya? pada monyet itu? aha, mungkin saja toh ia juga punya bahasa. ya bahasa monyet...
(bersambung, insyaallah)

No comments:

Ingsun

mbantul, jogjakarta, Indonesia