Saturday, June 6, 2009

Kisah Burung, Sangkar, dan Pohon

Seekor burung dalam sangkar melihat dengan mata binar
Pohon berdaun hijau lebat bertubuh kekar di samping sangkar
Pikirnya melayang membayang
Berkicau gurau di dahan dan reranting pohon hijau

“Pohon, andai aku bisa bermain
Di hijau daun rimbun tubuhmu
Alangkah bahagia diriku”

Sangkar masih terpekur tak tahu sampai di mana alam pikir burung
Tercecar terpencar
Ia diam, hanya diam
hingga waktu mengajarkan perubahan dan kejutan demi kejutan

“Sangkar, katakan kau sudah tak lagi nyaman
Tiap hari kubuat kau kucakar dan kotor
Sebab kicauku parau sebab tarianku kacau”

Sangkar diam menatap burung
Selama ini bukan ia yang memenjara
Tapi sebaliknya, ia yang terpenjara
Tak mampu ke mana-mana dan tak berbuat apa-apa
Sebab burung terlalu berharga untuk di tinggal begitu saja
Akhirnya diamlah ia di seribu sunyi

“Katakan kau bosan!” pinta burung
Dengan air matanya yang lincah semakin buncah

Oleh sebab sangkar diam saja
Perlahan pintunya terbuka
Paruh burung begitu lincah membius udara
Hingga udara bernyanyi menari
Dan membuat daunan dan reranting pohon ikut bernyanyi menari
tak sengaja turut andil membuka pintu sangkar yang tercekat
oleh dahsyat burung bermusylihat

Perlahan, amat perlahan burung beranjak terbang
Sangkar hanya terpekur takjub
“Bahkan ketika engkau pergi, aku hanya bisa bisu
Tak ada air mata untuk dilinangkan rasa”

Perlahan, dengan amat perlahan
burung menerobos daunan hinggap di ranting dan dahan
Yang sedari kemarin sungguh menarik hatinya
Sebab lebat daunan hijau di tubuhnya
Menjanjikan nyaman di dada

“Kenapa sangkar menangis? Tanya pohon pada burung.
“Sebab ia bosan memenjaraku” jawab burung

Dalam hati pohon berkata sendiri
“Apakah mungkin sangkar menjadi pembosan seperti itu?
Sedang kutahu burung itulah satu-satunya jiwa
yang hidup dalam dirinya

“Aku terbang perlahan, teramat perlahan sebab hancur dan keping
Rasaku meretas satu-satu seperti halnya bulu-bulu
Tercerabut dari tubuhku”
Kembali burung meyakinkan pohon bahwa ialah yang menderita

Pohon, dalam keriput kulit tubuhnya masih merangkai tanda tanya
Hingga suatu saat angin menari gemetar
Sebab nyanyian menyayat berkesiur dari tubuh sangkar

“Aku telah lama terpenjara oleh isi dalam jiwa
Hingga seluruh apa yang dilaku dan berada
Menjadi nyanyian paling indah, tarian paling gemulai, dan kotoran paling wangi
Namun oleh karena keterpesonaanku itulah
Tubuhku lemas tak sengaja rela melepas
Satu-satunya jantung yang berdetak dalam tubuhku
Oh, angin, sampaikan pada pohon
Bahwa setelah hilang burung tersayang
Aku benar-benar menjadi kosong dan mati
Hanyalah sangkar lumpuh yang tak lagi fungsi
Kecuali mengabadikan keindahan masa lalu
Saat kicau masih menggema dalam diriku
Tanpa burung, apalah aku”

Tangisnya tanpa air mata
Pedih kata-katanya tanpa suara

Pohon berhenti bergoyang meski burung
Menari di sela reranting dahan
Ia masih berfikir apa yang harus dilakukan
Agar sangkar, angin, dan burung
Tak perlu lagi mendengar dendang kepedihan
Entah yang palsu entah yang sungguhan

Kotagede, 02 Juni 2009

No comments:

Ingsun

mbantul, jogjakarta, Indonesia