selalu belajar, selalu mengerti diri penuh kekurangan, selalu faham kelebihan sama sekali bukan untuk disombongkan, selalu berbuat untuk kebaikan... itulah mengapa harus; sorogan
Ada 40 jiwa menautkan wajah Pada mejameja pengabdian dan gelisah Mempertanyakan mau dibawa ke mana Sekoper masalah yang bola salju ini
Dalam 13 matahari yang menjadi selimut Hangat istirah intrik dan masalah Semi sejuta kembang keinginan membuncah Tentang bagaimana memperbaiki diri sendiri Sambil mencium ibu pertiwi
Pakaian kita bukanlah sekedar dasi administrasi Celana birokrasi dan baju basa basi Tapi jubah pelayanan yang disulam benang hati Dan dihiasi manik-manik ikhlas lillahi
Tapi siapa yang telah tega mencuri? Pakaian kita hilang hari demi hari Lalu leher pengabdian tinggal terjerat dasi? Bukankah tidak ada selain jiwa dalam ruang ideologi selain diri sendiri?
Ahai, benarkah etika dan moral telah abrasi Bukan digempur air pantai birokrasi Tapi sebab memang begitu pasir Tujuan yang lama dipahat pada batu cita-cita ; hanya sebatas dunia
Maka biarlah kemarin menjadi kemarin Sebab kenyataan adalah sekarang Dalam 13 matahari, 40 pemahat menatah batubatu sikap dan harap Di depan, tujuan adalah pengabdian paling nurani ; lillahi…
entah kenapa tiba-tiba sekian lama mengubur berani kaki-kaki rasa -meski getar- mencoba gagah berdiri
mungkin sebab lama tertancap lantai ruang tunggu seluruh badan terasa kaku membuka pintu ruang gelap ini adalah ketakutan tersendiri sebab kilau cahaya akan menerpa tanpa permisi
kadang tertawa geli kenapa mesti takut tersiram cahaya lalu menutup mata bahkan sembunyi dan perlahan hilang bukankah kehidupan begitu benderang
maka bangkit dari senyap jiwa adalah jawab sebab hidupku ingin terang sebab rasaku ingin tumbuh jadi suluh tuhan, ijinkah aku melangkah
*** Lama menjadi lelaki penunggu Membuat rindu terasa batu Meski jawab lama ditemu Harusnya tak perlu ada risau
Tapi kenapa sekarang begitu kacau Sekedar dua kata bertanda tanya Jiwa beku jadi bergelora
Ahai, indahnya katakata…
***
kukatakan aku tak akan memuji catik indahmu sebab percuma menabur garam di laut jadi diam dan tatapku sangatlah cukup
tanyaku padamu hal apa yang membuatmu patut menjadi pendamping hidup hingga usia kita berlumut
engkau menjawab tak tahu akupun begitu
inilah pertemuan jiwa selalu ada kabut yang menutup kehendak kita menangkap logika hidup
***
jadi kenapa mesti menunggu jika kereta senja sudah di depan pintu!
akhirnya kita memilih mujahadah sepi sebagai jalan yang kita tempuh menempa diri kemarin, terlalu riuh kita nyanyikan kasidah pertemuan toh tenggelam dalam genang air mata perpisahan
mungkin sebab ziarah kita di persimpangan dalam maqom ragu dan gamang hingga kita tak mungkin menetap di tiap jamuan
kini biarlah aku pulang kamu pulang rumah kita terbuka pintu dan jendela sesiapa masuk keluar sekehendak nafsunya tutup dulu untuk sementara supaya khusuk kita rajut sajadah berbenang doa-doa tempat kita sujudkan pertemuan segala cita-cita
kekasih, cintaku tumbuh tak berbatas ruang waktu begitulah kuyakinkan dirimu
mengapalah mesti meragu jika hati telah sama menyatu
jikapun mata pedang menatap leherku pantang untuk diriku tak maju hanya tentu butuh jalan lain jurusan agar tebasnya tak perlu membuat luka mematikan
semoga sama begitulah engkau meski jerat tali mengikat loloskan pelan dan bersahabat sebab meronta hanya akan membuat nganga luka entah engkau entah siapa
kekasih, sungguh, telah kurindukan kau bahkan sebelum kita pernah bertemu
satu jerawat bertamu mengucap salam rindu mengetuk pintu wajah bertalu-talu “adakah penghuni di rona warna biru?” sang wajah manahan bisu tangannya sigap membuka pintu bukan untuk menerima tamu tapi kabur ke rona warna ungu “siapa juga yang mau dihinggap jerawat itu!” kata sang wajah sambil mengunci pintu
jerawat minggat melesat menderu sampai lupa, hatinya tertinggal di depan pintu
Temenku kemarin sore, mampir ke salah satu bioskop terbesar di jogja jam 2.30, dia pengen nonton Sang Pemimpi. setelah ngantri tak begitu banyak, dia dapat 2 tiket pd pkul 3.00 untuk dia dan temennya masuk pukul 16.20. dia harus nunggu. dia belum sholat ashar. "di sini ada mushola ga ya?" tanya temenku pada temennya. "kayaknya ada deh, gedung se gede gini masak ga ada," jawab temennya temenku. lalu ia bertanya pada petugas jaga. jawabnya, "maaf, ga ada, mas," Temenku menjawab, "o," sambil ngacir cari masjid paling dekat... hmmm...
tiba-tiba menjelma Musa, melompat dari gelap menemu perempuan bersayap. menatih pada Syuaib sang ayah yang bijak, "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini," sungguh, amanah hebat tiba di atas pundak yang bungkuk, sadar bahwa selama 8 tahun tak ada yang diperbuat, maka, menunggu 2 tahun akan nikmat sebagai penggenap, memperbaiki niat, laku, dan tentu saja ilmu... "Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang2 yang baik," sang ayah tersenyum cerah. sungguh, hati tentu saja menjadi bungah. (insp QS. al-Qashash 28: 27)
Seorang ibu pada hari senin pagi ngomel masalah anak nomor duanya yang pelitnya ampun pada anak-anaknya yang laen. “Tuh liat bujang nomor dua, tak pernah sedikitpun ngasih apalah sama ibunya yang satu ini. Lupa dia rupanya sama ibunya ini,” Pada hari selasa, sang ibu mengajak anak nomor tiga dan empat masak kolak di rumahnya. kebetulan waktu bulan ramadhan. kolak jadi tren di dapur. Setelah selesai matang, ibu itu berkata, “sekarang kirimlah barang satu nampan ke rumah budak nomor dua, biarlah dia merasakan masakanku,” “bu, ndak usahlah, buat apa? Tak pernah dikasihnya ibu olehnya kenapa harus dikasih pula?” protes anak nomor tiga. “alah, kau rasakanlah sendiri nanti kalo sudah punya anak,” Anak nomor tiga mengelus perut buncitnya, ia memang sedang hamil anak pertama.
malam separuh. bulan luruh. aku pusing banyak tugas mengepung. tiba-tiba malam menjadi gila. (atau aku yang gila gara-gara malam ini? entahlah) lalu dengan enteng aku bilang ke mahbub jamaluddin... yang asyik di depan laptopnya, "Golekke aku bojo, Mah!" dengan enteng pula ia menjawab, "aku we ra entuk entuk kok...! lalu kita berdua tertawa, "hahaha..." orang-orang belum tahu kalo sekarang aku gila hahaha...
setelah malam itu, sepasang api menepi bercakap dengan nurani seberapa dalam kenal hakekat diri
tertunduk dalam malam batu tembok sepi dan rumputan diam dan batangbatang rokok menyala liar
mereka melihat mencatat dalam tasbihnya sepasang api membakar diri sendiri
tidakkah terbaca banyak berita duka di sepanjang koran-tv-radio di internet pula hidup ini sementara jika dipenuhi mabuk maka jiwa akan lupa dan mati sebelum waktunya
sepasang api perlahan surut setelah lama ego saling memagut nyeri jiwa mereka basah air mata
kemarinkemarin mereka lupa bahwa yang pantas dikenang hanyalah kebaikan bagi sesama
pagi harinya sepasang api tersenyum pada setiap orang yang datang entah dari mana membakar tungku hidup mereka menghangatkan malam dingin bagi semua
dan ketika mati kelak mereka tetap hidup dalam setiap benak
matapena, 9 Agustus 2009
(ingin seperti mbah surip dan ws rendra ; meski mati tapi tak pernah mati)